UU PELAYARAN

Editor

Nama : Moh Adam Irfandi H
Kelas : Nautika B Pola Pembibitan
NIT   : 06 18 037 1 22

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2010
TENTANG
ANGKUTAN DI PERAIRAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 20,
Pasal 23, Pasal 26, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 39, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 58,
Pasal 59 ayat (3), Pasal 268, dan Pasal 273 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Angkutan di
Perairan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4849);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Angkutan di Perairan, Angkutan Laut Khusus, Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat,
Pelayaran-Perintis, Kapal, Kapal Asing, Trayek, Agen Umum, Usaha Jasa Terkait,
Pelabuhan, Pelabuhan Utama, Pelabuhan Pengumpul, Pelabuhan Pengumpan,
Terminal Khusus, Badan Usaha, dan Setiap Orang adalah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4849).
2. Angkutan Laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya melayani
kegiatan angkutan laut.
3. Angkutan Laut Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan laut yang dilakukan di
wilayah perairan Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut
nasional.
4. Angkutan Laut Luar Negeri adalah kegiatan angkutan laut dari pelabuhan atau
terminal khus us yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke pelabuhan luar negeri
atau dari pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang
terbuka bagi perdagangan luar negeri yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan
laut.
5. Angkutan Sungai dan Danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal
yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, banjir kanal, dan terusan untuk
mengangkut penumpang dan/atau barang yang diselenggarakan oleh perusahaan
angkutan sungai dan danau.
6. Angkutan Sungai dan Danau Untuk Kepentingan Sendiri adalah kegiatan angkutan
sungai dan danau yang dilakukan untuk melayani kepentingan sendiri dalam
menunjang usaha pokoknya.
7. Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh
perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya.
8. Kapal Berbendera Indonesia adalah kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal
Indonesia.
9. Jaringan Trayek adalah kumpulan dari trayek yang menjadi satu kesatuan pelayanan
angkutan penumpang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.
10. Trayek Tetap dan Teratur (liner) adalah pelayanan angkutan yang dilakukan secara
tetap dan teratur dengan berjadwal dan menyebutkan pelabuhan singgah.
11. Trayek Tidak Tetap dan Tidak Teratur (tramper) adalah pelayanan angkutan yang
dilakukan secara tidak tetap dan tidak teratur.
12. Sub Agen adalah perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional yang
khusus didirikan untuk melakukan usaha keagenan kapal di pelabuhan atau terminal
khusus tertentu yang ditunjuk oleh agen umum.
13. Perwakilan Perusahaan Angkutan Laut Asing (owner’s representative) adalah badan
usaha atau perorangan warga negara Indonesia atau perorangan warga Negara asing
yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan laut asing di luar negeri untuk mewakili
kepentingan administrasinya di Indonesia.
14. Usaha Bongkar Muat Barang adalah kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang
bongkar muat barang dari dan ke kapal di pelabuhan yang meliputi kegiatan
stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery.
15. Stevedoring adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga/
tongkang/truk atau memuat barang dari dermaga/tongkang/truk ke dalam kapal sampai
dengan tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan derek kapal atau derek darat.
16. Cargodoring adalah pekerjaan melepaskan barang dari tali/jala-jala (ex tackle) di
dermaga dan mengangkut dari dermaga ke gudang/lapangan penumpukan barang atau
sebaliknya.
17. Receiving/delivery adalah pekerjaan memindahkan barang dari timbunan/tempat
penumpukan di gudang/lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai tersusun di
atas kendaraan di pintu gudang/lapangan penumpukan atau sebaliknya.
18. Usaha Jasa Pengurusan Transportasi (freight forwarding) adalah kegiatan usaha yang
ditujukan untuk semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan
penerimaan barang melalui angkutan darat, kereta api, laut, dan/atau udara.
19. Usaha Angkutan Perairan Pelabuhan adalah kegiatan usaha untuk memindahkan
penumpang dan/atau barang dari dermaga ke kapal atau sebaliknya, dan dari kapal ke
kapal di perairan pelabuhan.
20. Usaha Penyewaan Peralatan Angkutan Laut atau Peralatan Jasa Terkait dengan
Angkutan Laut adalah kegiatan usaha untuk menyediakan dan menyewakan peralatan
angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut dan/atau alat apung
untuk pelayanan kapal.
21. Usaha Tally Mandiri adalah kegiatan usaha jasa menghitung, mengukur, menimbang,
dan membuat catatan mengenai muatan untuk kepentingan pemilik muatan dan/atau
pengangkut.
22. Usaha Depo Peti Kemas adalah kegiatan usaha yang meliputi penyimpanan,
penumpukan, pembersihan, dan perbaikan peti kemas.
23. Usaha Pengelolaan Kapal (ship management) adalah kegiatan jasa pengelolaan kapal
di bidang teknis kapal meliputi perawatan, persiapan docking, penyediaan suku
cadang, perbekalan, pengawakan, asuransi, dan sertifikasi kelaiklautan kapal.
24. Usaha Perantara Jual Beli dan/atau Sewa Kapal (ship broker) adalah kegiatan usaha
perantara jual beli kapal (sale and purchase) dan/atau sewa menyewa kapal
(chartering).
25. Usaha Keagenan Awak Kapal (ship manning agency)adalah usaha jasa keagenan awak
kapal yang meliputi rekruitmen dan penempatan di kapal sesuai kualifikasi.
26. Usaha Keagenan Kapal adalah kegiatan usaha jasa untuk mengurus kepentingan kapal
perusahaan angkutan laut asing dan/atau kapal perusahaan angkutan laut nasional
selama berada di Indonesia.
27. Usaha Perawatan dan Perbaikan Kapal (ship repairing and maintenance) adalah usaha
jasa perawatan dan perbaikan kapal yang dilaksanakan di kapal dalam kondisi
mengapung.
28. Barang adalah semua jenis komoditas termasuk ternak yang dibongkar/dimuat dari dan
ke kapal.
29. Perusahaan Angkutan Laut Nasional adalah perusahaan angkutan laut berbadan
hukum Indonesia yang melakukan kegiatan angkutan laut di dalam wilayah perairan
Indonesia dan/atau dari dan ke pelabuhan di luar negeri.
30. Perusahaan Angkutan Laut Asing adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum
asing yang kapalnya melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan atau
terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dari dan ke
pelabuhan luar negeri.
31. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
32. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
33. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pelayaran.
Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan
danau, angkutan penyeberangan, angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal
dan/atau wilayah terpencil, kegiatan jasa terkait dengan angkutan di perairan, perizinan,
penarifan, kewajiban dan tanggung jawab pengangkut, pengangkutan barang khusus dan
barang berbahaya, pemberdayaan industry angkutan di perairan, sistem informasi angkutan
di perairan, dan sanksi administratif.
BAB II
ANGKUTAN LAUT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas:
a. angkutan laut dalam negeri;
b. angkutan laut luar negeri;
c. angkutan laut khusus; dan
d. angkutan laut pelayaran-rakyat.
Bagian Kedua
Angkutan Laut Dalam Negeri
Paragraf 1
Umum
Pasal 4
Angkutan laut dalam negeri meliputi kegiatan:
a. trayek angkutan laut dalam ne geri;
b. pengoperasian kapal pada jaringan trayek; dan
c. keagenan kapal angkutan laut dalam negeri.
Pasal 5
(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional
dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang antarpelabuhan
laut serta kegiatan lainnya yang menggunakan kapal di wilayah perairan Indonesia.
(3) Kegiatan lainnya yang menggunakan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilarang dilakukan oleh kapal asing.
(4) Kapal asing yang melakukan kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus.
Paragraf 2
Kegiatan Trayek Angkutan Laut Dalam Negeri
Pasal 6
(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur serta
dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur.
(2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jaringan trayek.
(3) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:
a. menyinggahi beberapa pelabuhan secara tetap dan teratur dengan berjadwal; dan
b. kapal yang dioperasikan merupakan kapal penumpang, kapal petikemas, kapal
barang umum, atau kapal Ro-Ro dengan pola trayek untuk masingmasing jenis kapal.
(4) Jaringan trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disusun dengan memperhatikan:
a. pengembangan pusat industri, perdagangan, dan pariwisata;
b. pengembangan wilayah dan/atau daerah;
c. rencana umum tata ruang;
d. keterpaduan intra-dan antarmoda transportasi; dan
e. perwujudan Wawasan Nusantara.
Pasal 7
(1) Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) dilakukan bersama oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan asosiasi perusahaan
angkutan laut nasional dengan memperhatikan masukan asosiasi pengguna jasa
angkutan laut.
(2) Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Menteri.
(3) Jaringan trayek tetap dan teratur disusun berdasarkan rencana trayek tetap dan teratur
yang disampaikan oleh perusahaan angkutan laut nasional kepada Menteri dan usulan
trayek dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan asosiasi perusahaan angkutan laut
nasional.
(4) Jaringan trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
(5) Jaringan trayek yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digambarkan
dalam peta jaringan trayek dan diumumkan oleh Menteri pada forum koordinasi
Informasi Muatan dan Ruang Kapal (IMRK) atau media cetak dan/atau elektronik.
Pasal 8
(1) Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dapat
dilakukan perubahan berdasarkan usulan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan
asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dengan menambah 1 (satu) atau lebih trayek
baru.
(2) Penambahan trayek tetap dan teratur baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan:
a. adanya potensi kebutuhan jasa angkutan laut dengan perkiraan faktor muatan yang
layak dan berkesinambungan; dan
b. tersedianya fasilitas pelabuhan yang memadai atau lokasi lain yang ditunjuk untuk
kegiatan bongkar muat barang dan naik/turun penumpang yang dapat menjamin
keselamatan pelayaran.
Pasal 9
(1) Perusahaan angkutan laut nasional yang akan mengoperasikan kapal pada trayek yang
belum ditetapkan dalam jaringan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4)
harus memberitahukan rencana trayek tetap dan teratur kepada Menteri.
(2) Rencana trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum
ditetapkan dalam jaringan trayek dihimpun oleh Menteri sebagai bahan penyusunan
jaringan trayek.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan jaringan trayek angkutan laut dalam
negeri diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Kegiatan Pengoperasian Kapal Pada Jaringan Trayek
Pasal 11
(1) Pengoperasian kapal pada jaringan trayek tetap dan teratur dilakukan oleh perusahaan
angkutan laut nasional dengan mempertimbangkan:
a. kelaiklautan kapal;
b. menggunakan kapal berbendera Indonesia dan diawaki oleh awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia;
c. keseimbangan permintaan dan tersedianya ruangan;
d. kondisi alur dan fasilitas pelabuha n yang disinggahi; dan
e. tipe dan ukuran kapal sesuai dengan kebutuhan.
(2) Perusahaan angkutan laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. melaporkan pengoperasian kapalnya pada trayek tetap dan teratur kepada Menteri;
b. mengumumkan jadwal kedatangan serta keberangkatan kapalnya kepada masyarakat;
dan
c. mengumumkan tarif, untuk kapal penumpang.
(3) Perusahaan angkutan laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melayani
kegiatan angkutan laut pada trayek dimaksud untuk waktu paling sedikit 6 (enam)
bulan.
Pasal 12
(1) Dalam keadaan tertentu, perusahaan angkutan laut nasional yang telah mengoperasikan
kapalnya pada trayek tetap dan teratur dapat melakukan penyimpangan trayek berupa:
a. omisi; dan
b. deviasi.
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. omisi dilakukan apabila:
1. kapal telah bermuatan penuh dari pelabuhan sebelumnya dalam suatu trayek yang
bersangkutan;
2. tidak tersedia muatan di pelabuhan berikutnya; atau
3. kondisi cuaca buruk pada pelabuhan tujuan berikutnya;
b. deviasi dilakukan apabila kapal yang dioperasikan pada trayek yang telah ditetapkan
digunakan untuk mengangkut kepentingan yang ditugaskan oleh negara.
Pasal 13
(1) Selain melakukan penyimpangan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
perusahaan angkutan laut nasional yang telah mengoperasikan kapalnya pada trayek
tetap dan teratur dapat melakukan penggantian kapal atau substitusi.
(2) Penggantian kapal atau substitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
apabila:
a. kapal mengalami kerusakan permanen;
b. kapal sedang dalam perbaikan atau docking; atau
c. kapal tidak sesuai dengan kondisi muatan.
Pasal 14
Penyimpangan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan penggantia n kapal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib dilaporkan kepada Menteri.
Pasal 15
Terhadap perusahaan angkutan laut nasional yang mengoperasikan kapalnya pada trayek
tetap dan teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) diberikan insentif.
Pasal 16
(1) Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1), dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional.
(2) Perusahaan angkutan laut nasional yang mengoperasikan kapal pada trayek tidak tetap
dan tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan kepada
Menteri.
(3) Laporan pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilakukan setiap 3 (tiga) bulan.
Pasal 17
(1) Perusahaan angkutan laut nasional yang mengoperasikan kapalnya pada trayek tidak
tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) hanya dapat
mengangkut muatan:
a. barang curah kering dan curah cair;
b. barang yang sejenis; atau
c. barang yang tidak sejenis untuk menunjang kegiatan tertentu.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk perusahaan
pelayaran-rakyat yang mengoperasikan kapalnya pada trayek tidak tetap dan tidak
teratur.
Pasal 18
Pengangkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dilakukan
berdasarkan perjanjian pengangkutan.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengoperasian kapal pada trayek tetap dan
teratur serta trayek tidak tetap dan tidak teratur angkutan laut dalam negeri diatur dengan
Peraturan Menteri.
Paragraf 4
Kegiatan Keagenan Kapal Angkutan Laut Dalam Negeri
Pasal 20
(1) Kapal angkutan laut dalam negeri yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut
nasional hanya dapat diageni oleh perusahaan angkutan laut nasiona l atau perusahaan
nasional keagenan kapal.
(2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional
keagenan kapal di suatu pelabuhan, perusahaan angkutan laut nasional dapat menunjuk
perusahaan pelayaran-rakyat sebagai agen.
Pasal 21
Apabila di suatu pelabuhan atau terminal khusus tidak terdapat badan usaha yang dapat
ditunjuk sebagai agen, Nakhoda kapal dapat langsung menghubungi instansi yang terkait
untuk menyelesaikan segala urusan dan kepentingan kapalnya selama berada di pelabuhan
atau terminal khusus.
Bagian Ketiga
Angkutan Laut Luar Negeri
Paragraf 1
Umum
Pasal 22
Angkutan laut luar negeri meliputi kegiatan:
a. trayek angkutan laut luar negeri;
b. angkutan laut lintas batas;
c. keagenan umum kapal angkutan laut asing; dan
d. perwakilan perusahaan angkutan laut asing.
Pasal 23
(1) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut
nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal
berbendera Indonesia dan/atau kapal asing.
(2) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dari:
a. pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke
pelabuhan luar negeri; atau
b. pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi
perdagangan luar negeri.
(3) Perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan kegiatan angkutan laut ke dan
dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
(4) Perusahaan angkutan laut asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menunjuk
perusahaan nasional sebagai agen umum.
(5) Perusahaan angkutan laut asing dilarang melakukan kegiatan angkutan laut antarpulau
atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia.
(6) Perusahaan angkutan laut asing yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau
terminal khusus.
Pasal 24
(1) Kapal yang melakukan kegiatan angkutan laut luar negeri dapat melakukan kegiatan di
pelabuhan atau terminal khusus dalam negeri yang belum ditetapkan sebagai pelabuhan
atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dengan ketentuan
wajib:
a. menyinggahi pelabuhan atau terminal khusus terdekat yang terbuka bagi
perdagangan luar negeri untuk melapor (check point) kepada petugas bea dan cukai,
imigrasi, dan karantina; atau
b. mendatangkan petugas bea dan cukai, imigrasi, dan karantina dari pelabuhan atau
terminal khusus terdekat yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
(2) Kapal yang melakukan angkutan laut luar negeri yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di
pelabuhan atau terminal khusus.
Pasal 25
(1) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) dilaksanakan agar perusahaan angkutan laut nasional memperoleh pangsa
muatan yang wajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkutan barang impor milik Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus
menggunakan kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan
laut nasional.
(3) Dalam hal jumlah dan kapasitas ruang kapal berbendera Indonesia untuk melayani
kegiatan angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tid ak tersedia, perusahaan
angkutan laut nasional dapat menggunakan kapal asing.
Paragraf 2
Kegiatan Trayek Angkutan Laut Luar Negeri
Pasal 26
(1) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) dapat dilakukan dengan trayek tetap dan teratur serta trayek tidak tetap dan
tidak teratur.
(2) Penentuan trayek angkutan laut dari dan ke luar negeri secara tetap dan teratur serta
tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing.
(3) Perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing yang
mengoperasikan kapalnya dari dan ke pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka
untuk perdagangan luar negeri secara tetap dan teratur, wajib menyampaikan
pemberitahuan tertulis mengenai rencana pengoperasian kapal dan realisasi kapal yang
telah dioperasikan secara tetap dan teratur kepada Menteri dengan melampirkan:
a. nama kapal yang melayani trayek tetap dan teratur;
b. nama pelabuhan yang akan disinggahi dengan jadwal tetap dan teratur dalam jangka
waktu paling sedikit 6 (enam) bulan sesuai jadwal pelayaran; dan
c. realisasi pengoperasian kapal paling sedikit 6 (enam) bulan sesuai jadwal pelayaran.
(4) Pemberitahuan tertulis oleh perusahaan angkutan laut asing yang mengoperasikan
kapalnya dari dan ke pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka untuk perdagangan
luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan melalui agen umum di
Indonesia yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan laut asing.
(5) Perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing yang tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kapal yang
dioperasikan dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal
khusus.
(6) Perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing yang
mengoperasikan kapalnya untuk kegiatan angkutan laut luar negeri dalam trayek
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila tidak dila yari pada trayek dimaksud akan
diperlakukan sebagai kapal dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur.
Pasal 27
(1) Perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis setiap rencana kegiatan kapal yang akan
dioperasikan dan realisasi kegiatan kapal yang telah dioperasikan untuk kegiatan
angkutan laut luar negeri secara tidak tetap dan tidak teratur kepada Menteri.
(2) Perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing yang tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kapal yang
dioperasikan dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal
khusus.
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penempatan kapal pada trayek angkutan laut luar
negeri diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Kegiatan Angkutan Laut Lintas Batas
Pasal 29
(1) Untuk memperlancar operasional kapal dan kepentingan perdagangan dengan negara
tetangga dapat ditetapkan trayek angkutan laut lintas batas.
(2) Trayek angkutan laut lintas batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh
Menteri berdasarkan:
a. usulan kelompok kerja sama sub-regional; dan
b. jarak tempuh pelayaran tidak melebihi 150 (seratus lima puluh) mil laut.
(3) Penempatan kapal pada trayek angkutan laut lintas batas dilakukan oleh:
a. perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berukuran paling
besar GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage); dan
b. perusahaan pelayaran-rakyat.
Paragraf 4
Kegiatan Keagenan Umum Kapal Angkutan Laut Asing
Pasal 30
(1) Perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan kegiatan angkutan laut ke dan
dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan
wajib menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum.
(2) Agen umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:
a. perusahaan nasional keagenan kapal; atau
b. perusahaan angkutan laut nasional.
(3) Perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang
ditunjuk sebagai agen umum yang tidak memiliki kantor cabang di pelabuhan atau
terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri, dapat menunjuk perusahaan
nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang berada di
pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri sebagai sub
agen.
(4) Sub agen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengurus kepentingan kapal asing yang
diageni oleh perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut
nasional selama berada di pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi
perdagangan luar negeri.
(5) Perusahaan angkutan laut asing yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kapal yang dioperasikan dikenai sanksi tidak diberikan
pelayana n di pelabuhan atau terminal khusus.
Pasal 31
Perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang ditunjuk
sebagai agen umum dilarang menggunakan ruang kapal asing yang diageninya, baik
sebagian maupun keseluruhan, untuk mengangkut muatan dalam negeri.
Pasal 32
(1) Perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang
ditunjuk sebagai agen umum, wajib melaporkan secara tertulis mengenai rencana
kedatangan kapal asing yang diageninya kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama kapal;
b. nama pelabuhan yang akan disinggahi;
c. surat penunjukan keagenan umum;
d. waktu kedatangan dan keberangkatan kapal;
e. rencana dan volume bongkar muat; dan
f. daftar awak kapal (crew list).
(3) Perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang
ditunjuk sebagai agen umum yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kapal yang diageninya dikenai sanksi tidak mendapatkan
pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus.
Pasal 33
Kapal asing milik negara sahabat, kapal pesiar asing milik pribadi, atau badan internasional
lain dapat menunjuk atau meminta bantuan kedutaan besar negara yang bersangkutan atau
perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional untuk
mengurus kepentingan kapalnya selama berada di perairan Indonesia.
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana kedatangan kapal asing yang
diageni oleh perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional
diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 5
Perwakilan Perusahaan Angkutan Laut Asing
Pasal 35
(1) Perusahaan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut ke atau dari
pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka untuk perdagangan luar negeri secara
berkesinambungan dapat menunjuk perwakilannya di Indonesia.
(2) Perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:
a. badan hukum Indonesia;
b. perorangan warga negara Indonesia; atau
c. perorangan warga negara asing.
(3) Penunjukan perwakilan perusahaan angkutan laut asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki surat penunjukan sebagai perwakilan perusahaan angkutan laut asing yang
diketahui Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Konsulat Republik Indonesia di
negara bersangkutan bagi warga negara asing;
b. memiliki kartu izin tinggal sementara dari instansi terkait bagi warga negara asing;
c. memiliki izin kerja dari instansi terkait bagi warga negara asing;
d. melampirkan pas photo terbaru bagi perorangan;
e. melampirkan daftar riwayat hidup dari perorangan yang ditunjuk sebagai perwakilan;
dan
f. memiliki surat keterangan domisili dari instansi yang berwenang.
(4) Perwakilan perusahaan angkutan laut asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas melakukan:
a. pemantauan atas kapal perusahaannya selama beroperasi atau melakukan kegiatan di
perairan dan/atau di pelabuhan Indonesia;
b. pengawasan terhadap pelaksanaan tugas yang diberikan oleh perusahaan angkutan
laut asing terhadap agen umumnya dalam melayani kapalnya di perairan dan/atau di
pelabuhan atau terminal khusus; dan
c. memberikan saran kepada agen umumnya.
Pasal 36
(1) Perwakilan perusahaan angkutan laut asing yang telah memenuhi semua persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) wajib didaftarkan oleh perusahaan
nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang ditunjuk sebagai
agen umum perusahaan angkutan laut asing kepada Menteri.
(2) Terhadap perwakilan perusahaan angkutan laut asing yang telah memenuhi semua
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Menteri menerbitkan
Certificate of Owner’s Representative.
(3) Certificate of Owner’s Representative sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku 1
(satu) tahun dan dapat diperpanjang.
(4) Perwakilan perusahaan angkutan laut asing di Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilarang melakukan kegiatan keagenan kapal, booking muatan, dan kegiatan
pencarian muatan.
Pasal 37
(1) Perusahaan angkutan laut nasional wajib menyampaikan pemberitahuan setiap kegiatan
kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan di luar negeri pada periode tertentu
kepada Menteri.
(2) Pengoperasian kapal berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian dari potensi armada nasional.
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penunjukan perwakilan perusahaan angkutan
laut asing diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Angkutan Laut Khusus
Pasal 39
(1) Kegiatan angk utan laut khusus dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang usaha
pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia
yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum Indonesia
yang melakukan kegiatan usaha pokok di bidang:
a. industri;
b. kehutanan;
c. pariwisata;
d. pertambangan;
e. pertanian;
f. perikanan;
g. salvage dan pekerjaan bawah air;
h. pengerukan;
i. jasa konstruksi; dan
j. kegiatan penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyelenggaraan kegiatan sosial
lainnya.
Pasal 40
(1) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
dilakukan sesuai dengan jenis kegiatan usaha pokoknya.
(2) Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melaporkan pengoperasian kapalnya kepada Menteri.
(3) Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus yang tidak menyampaikan laporan
pengoperasian kapalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi tidak
diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus.
Pasal 41
(1) Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(1) dilarang mengangkut muatan atau barang milik pihak lain dan/atau mengangkut
muatan atau barang umum, kecuali dalam keadaan tertentu berdasarkan izin dari
Menteri.
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. tidak tersedianya kapal; dan
b. belum adanya perusahaan angkutan laut nasional yang mampu melayani sebagian
atau seluruh permintaan jasa angkutan laut yang ada.
(3) Izin penggunaan kapal angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersifat sementara sampai dengan:
a. tersedianya kapal; dan
b. adanya perusahaan angkutan laut nasional yang mampu melayani sebagian atau
seluruh permintaan jasa angkutan laut yang ada.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pengoperasian kapal oleh pelaksana
kegiatan angkutan laut khusus dan tata cara penerbitan izin penggunaan angkutan laut
khusus mengangkut muatan atau barang umum diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 43
(1) Pelaksana kegiatan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut khusus
ke pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri, wajib
menunjuk perusahaan angkutan laut nasional atau pelaksana kegiatan angkutan laut
khusus sebagai agen umum.
(2) Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus hanya dapat menjadi agen umum bagi kapal
yang melakukan kegiatan yang sejenis dengan usaha pokoknya.
(3) Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kapal yang mengangkut bahan
baku, peralatan produksi, dan/atau hasil produksi untuk kepentingan sendiri dalam
menunjang usaha pokoknya.
(4) Dalam hal pelaksana kegiatan angkutan laut asing tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kapal yang dioperasikan dikenai sanksi tidak
diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penunjukan keagenan angkutan laut khusus
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat
Pasal 45
(1) Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat dilakukan oleh orang perseorangan warga
negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia
yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Penggunaan kapal angkutan laut pelayaran-rakyat berbendera Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. kapal layar (KL) tradisional yang digerakkan sepenuhnya oleh tenaga angin;
b. kapal layar motor (KLM) berukuran tertentu dengan tenaga mesin dan luas layar
sesuai ketentuan; atau
c. kapal motor (KM) dengan ukuran tertentu.
Pasal 46
Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1)
termasuk di dalamnya kegiatan bongkar muat serta kegiatan ekspedisi muatan kapal laut,
yang dapat dilakukan secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
Pasal 47
(1) Menteri melakukan pembinaan angkutan laut pelayaranrakyat agar kehidupan usaha dan
peranan penting angkutan laut pelayaran-rakyat tetap terpelihara sebagai bagian dari
potensi angkutan laut nasional yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi
nasional.
(2) Pengembangan angkutan laut pelayaran-rakyat dilaksanakan untuk:
a. meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman dan/atau perairan yang memiliki alur
dengan kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau;
b. meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha angkutan laut nasional dan
lapangan kerja; dan
c. meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan kewiraswastaan dalam bidang
usaha angkutan laut nasional.
(3) Pengembangan angkutan laut pelayaran-rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui:
a. peningkatan keterampilan sumber daya manusia bagi pengusaha dan awak kapal di
bidang nautis, teknis, radio, serta pengetahuan kepelautan melalui pendidikan/
pelatihan kepelautan yang diselenggarakan termasuk di pelabuhan sentra pelayaranrakyat;
b. peningkatan keterampilan manajemen bagi perusahaan berupa pendidikan di bidang
ketatalaksanaan pelayaran niaga tingkat dasar di pelabuhan sentra pelayaran-rakyat;
c. penetapan standarisasi bentuk, ukuran, konstruksi, dan tipe kapal disesuaikan dengan
daerah dan/atau rute pelayaran yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas
termasuk sungai dan danau yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi
ekonomi maupun dari segi kelaiklautan kapalnya; dan
d. kemudahan dalam hal pendirian usaha, operasional, dan penyiapan fasilitas
pelabuhan serta keringanan tarif jasa kepelabuhanan.
Pasal 48
(1) Armada angkutan laut pelayaran-rakyat dapat dioperasikan pada jaringan trayek
angkutan dalam negeri dan trayek lintas batas, baik dengan trayek tetap dan teratur
maupun trayek tidak tetap dan tidak teratur.
(2) Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat yang menggunakan kapal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan dengan trayek tidak
tetap dan tidak teratur.
(3) Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat yang menggunakan kapal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c dilakukan dengan trayek tetap dan teratur.
Pasal 49
Perusahaan pelayaran-rakyat dalam melakukan kegiatan angkutan laut secara tidak tetap
dan tidak teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dapat mengangkut
muatan:
a. barang umum;
b. barang curah kering dan/atau curah cair; dan/atau
c. barang yang sejenis, dalam jumlah tertentu, sesuai dengan kondisi kapal pelayaranrakyat.
Pasal 50
(1) Keagenan kapal perusahaan pelayaran-rakyat hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
pelayaran-rakyat.
(2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan pelayaran-rakyat di suatu pelabuhan, perusahaan
pelayaran-rakyat dapat menunjuk perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan
angkutan laut nasional.
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB III
ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 52
(1) Angkutan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi kegiatan:
a. angkutan sungai dan danau di dalam negeri;
b. angkutan sungai dan danau antara negara Republik Indonesia dengan negara
tetangga; dan
c. angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri.
(2) Kegiatan angkutan sungai dan danau dilakukan oleh orang perseorangan warga negara
Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang
memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia.
(3) Kegiatan angkutan sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang
dilakukan di laut, kecuali mendapat izin dari Syahbandar dengan tetap memenuhi
persyaratan kelaiklautan kapal.
Bagian Kedua
Kegiatan Angkutan Sungai dan
Danau di Dalam Negeri
Pasal 53
(1) Kegiatan angkutan sungai dan danau di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1) huruf a diselenggarakan dengan menggunakan:
a. trayek tetap dan teratur; dan
b. trayek tidak tetap dan tidak teratur.
(2) Kegiatan angkutan sungai dan danau di dalam negeri yang melayani trayek tetap dan
teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam jaringan trayek.
(3) Jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh:
a. Menteri, untuk trayek antarprovinsi;
b. gubernur, untuk trayek antarkabupaten/kota dalam provinsi; dan
c. bupati/walikota, untuk trayek dalam kabupaten/kota.
(4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam
menetapkan jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
mempertimbangkan:
a. pengembangan wilayah potensi angkutan; dan
b. keterpaduan intra-dan antarmoda transportasi.
(5) Penetapan jaringan trayek angkutan sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan setelah memenuhi persyaratan:
a. sesuai dengan rencana induk pelabuha n nasional;
b. adanya kebutuhan angkutan;
c. rencana dan/atau ketersediaan pelabuhan sungai dan danau;
d. ketersediaan kapal sungai dan danau dengan spesifikasi teknis kapal sesuai fasilitas
pelabuhan pada trayek yang akan dilayani; dan
e. potensi perekonomian daerah.
(6) Jaringan trayek angkutan sungai dan danau di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), untuk seluruh wilayah Republik Indonesia, digambarkan dalam peta jaringan
dan diumumkan oleh Menteri.
Pasal 54
(1) Jaringan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) berfungsi untuk
menghubungkan simpul:
a. antarpelabuhan sungai;
b. antarpelabuhan sungai dengan pelabuhan laut yang berada dalam satu alur-pelayaran;
atau
c. antarpelabuhan danau.
(2) Jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. trayek utama; dan
b. trayek cabang.
(3) Trayek utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menghubungkan
antarpelabuhan sungai dan antarpelabuhan danau yang berfungsi sebagai pusat
penyebaran.
(4) Trayek cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menghubungkan
antarpelabuhan sungai dan antarpelabuhan danau yang berfungsi sebagai pusat
penyebaran dengan yang bukan berfungsi sebagai pusat penyebaran atau antarpelabuhan
sungai dan antarpelabuhan danau yang bukan berfungsi sebagai pusat penyebaran.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan trayek angkutan sungai dan danau di
dalam negeri diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Kegiatan Angkutan Sungai dan Danau Antara Negara Republik Indonesia
dan Negara Tetangga
Pasal 56
(1) Kegiatan angkutan sungai dan danau antara Negara Republik Indonesia dan negara
tetangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan
perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara tetangga yang
bersangkutan.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. adanya kebutuhan angkutan sungai dan danau dari negara Republik Indonesia ke
negara tetangga atau sebaliknya; dan
b. tersedianya fasilitas pelabuhan sungai dan danau yang terletak berdekatan dengan
batas wilayah negara Republik Indonesia dengan negara tetangga.
(3) Angkutan sungai dan danau yang dilakukan antara 2 (dua) negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia
dan/atau kapal berbendera negara yang bersangkutan.
Bagian Keempat
Kegiatan Angkutan Sungai dan Danau Untuk Kepentingan Sendiri
Pasal 57
Kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri dapat dilakukan oleh orang
perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha untuk menunjang usaha pokoknya.
Pasal 58
(1) Pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 wajib melaporkan pengoperasian kapalnya kepada
bupati/walikota sesuai dengan lokasi usaha pokoknya.
(2) Pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri yang tidak
menyampaikan laporan pengoperasian kapalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan sungai dan danau.
Pasal 59
(1) Pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) dilarang mengangkut muatan atau barang milik pihak
lain dan/atau mengangkut muatan atau barang umum, kecuali dalam keadaan tertentu
berdasarkan izin dari bupati/walikota.
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. tidak tersedianya kapal; dan
b. belum adanya perusahaan angkutan sungai dan danau yang mampu melayani
sebagian atau seluruh permintaan jasa angkutan sungai dan danau yang ada.
(3) Izin penggunaan kapal angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara sampai dengan:
a. tersedianya kapal; dan
b. adanya perusahaan angkutan sungai dan danau yang mampu melayani sebagian atau
seluruh permintaan jasa angkutan sungai dan danau yang ada.
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan izin kegiatan angkutan sungai dan
danau untuk kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
ANGKUTAN PENYEBERANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 61
(1) Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh
perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya.
(2) Kegiatan angkutan penyeberangan dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan
kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta
diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
(3) Setiap kapal yang melayani angkutan penyeberangan wajib:
a. memenuhi persyaratan teknis kelaiklautan dan persyaratan pelayanan minimal
angkutan penyeberangan;
b. memiliki spesifikasi teknis sesuai dengan fasilitas pelabuhan yang digunakan untuk
melayani angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan pada lintas yang
dilayani;
c. memiliki dan/atau mempekerjakan awak kapal yang memenuhi persyaratan
kualifikasi yang diperlukan untuk kapal penyeberangan;
d. memiliki fasilitas bagi kebutuhan awak kapal maupun penumpang dan kendaraan
beserta muatannya;
e. mencantumkan identitas perusahaan dan nama kapal yang ditempatkan pada bagian
samping kiri dan kanan kapal; dan
f. mencantumkan informasi atau petunjuk yang diperlukan dengan menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
(4) Angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. angkutan penyeberangan di dalam negeri; dan
b. angkutan penyeberangan antara negara Republik Indonesia dan negara tetangga.
Bagian Kedua
Kegiatan Angkutan Penyeberangan di Dalam Negeri
Pasal 62
(1) Kegiatan angkutan penyeberangan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (4) huruf a dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur dalam
lintas penyeberangan.
(2) Lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:
a. Menteri, untuk lintas penyeberangan antarprovinsi;
b. gubernur, untuk lintas penyeberangan antarkabupaten/kota; dan
c. bupati/walikota, untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota.
(3) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam
menetapkan lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mempertimbangkan:
a. pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh
perairan;
b. fungsi sebagai jembatan;
c. hubungan antara dua pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan
penyeberangan, antara pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan
penyeberangan dan terminal penyeberangan, dan antara dua terminal penyeberangan
dengan jarak tertentu;
d. tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan pengangkutnya;
e. rencana tata ruang wilayah; dan
f. jaringan trayek angkutan laut sehingga dapat mencapai optimalisasi keterpaduan
angkutan intradan antarmoda.
(4) Penetapan lintas penyeberangan selain mempertimbangkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) harus memenuhi persyaratan:
a. sesuai dengan rencana induk pelabuhan nasional;
b. adanya kebutuhan angkutan;
c. rencana dan/atau ketersediaan terminal penyeberangan atau pelabuhan;
d. ketersediaan kapal penyeberangan dengan spesifikasi teknis kapal sesuai fasilitas
pelabuhan pada lintas yang akan dilayani; dan
e. potensi perekonomian daerah.
(5) Lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia, digambarkan dalam peta lintas penyeberangan dan diumumkan
oleh Menteri.
Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan lintas penyeberangan diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Kegiatan Angkutan Penyeberangan Antara
Negara Republik Indonesia dan Negara Tetangga
Pasal 64
(1) Kegiatan angkutan penyeberangan antara Negara Republik Indonesia dan negara
tetangga dilakukan berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan
pemerintah negara tetangga yang bersangkutan.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. adanya kebutuhan angkutan penyeberangan dari negara Republik Indonesia ke
negara tetangga atau sebaliknya; dan
b. tersedianya fasilitas pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani angkutan
penyeberangan yang terletak berdekatan dengan batas wilayah Negara Republik
Indonesia dengan negara tetangga.
(3) Angkutan penyeberangan yang dilakukan antara 2 (dua) negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal
berbendera negara tetangga yang bersangkutan.
Bagian Keempat
Penempatan Kapal
Pasal 65
Penempatan kapal yang akan dioperasikan pada lintas penyeberangan dilakukan dengan
mempertimbangkan:
a. adanya kebutuhan angkutan penyeberangan; dan
b. tersedianya fasilitas pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan
penyeberangan/ terminal penyeberangan.
Pasal 66
(1) Penempatan kapal yang akan dioperasikan pada setiap lintas penyeberangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. spesifikasi teknis lintas;
b. spesifikasi teknis kapal;
c. persyaratan pelayanan minimal angkutan penyeberangan;
d. fasilitas pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan
atau terminal penyeberangan; dan
e. keseimbangan antara kebutuhan penyedia dan pengguna jasa angkutan.
(2) Spesifikasi teknis lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. kondisi lintasan;
b. perkiraan kapasitas lintas;
c. kemampuan pelayanan alur; dan
d. spesifikasi teknis terminal penyeberangan atau pelabuhan laut yang digunakan untuk
melayani angkutan penyeberangan.
(3) Spesifikasi teknis kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. ukuran kapal;
b. pintu rampa;
c. kecepatan kapal; dan
d. mesin bantu sandar.
(4) Persyaratan pelayanan minimal angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c meliputi:
a. persyaratan usaha; dan
b. persyaratan pelayanan.
(5) Fasilitas pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan atau
terminal penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit
meliputi:
a. jumlah dan jenis fasilitas sandar kapal;
b. kolam pelabuhan; dan
c. fasilitas naik turun penumpang dan kendaraan.
(6) Keseimbangan antara kebutuhan penyedia dan pengguna jasa angkutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan keseimbangan antara permintaan jasa
angkutan dengan sarana angkutan yang tersedia.
Pasal 67
(1) Untuk penambahan kapasitas angkut pada setiap lintas penyeberangan, penempatan
kapal dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. faktor muat rata-rata kapal pada lintas penyeberangan mencapai paling sedikit 65%
(enam puluh lima per seratus) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun;
b. kapal yang ditempatkan tidak dapat memenuhi jumlah muatan yang ada;
c. jumlah kapal yang beroperasi kurang dari jumlah kapal yang diizinkan melayani
lintas yang bersangkutan;
d. kapasitas prasarana dan fasilitas pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani
angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan yang tersedia; dan/atau
e. tingkat kemampuan pelayanan alur.
(2) Penambahan kapasitas angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di setiap lintas
penyeberangan dilakukan dengan meningkatkan jumlah frekuensi pelayanan kapal.
(3) Dalam hal frekuensi pelayanan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah
optimal, dapat dilakukan:
a. penambahan jumlah kapal; atau
b. penggantian kapal dengan ukuran yang lebih besar.
(4) Penambahan kapasitas angkut kapal pada setiap lintas penyeberangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), harus memperhatikan faktor muat rata-rata paling sedikit 50%
(lima puluh per seratus) per tahun dengan tidak menambah waktu sandar dan waktu
layar dari masingmasing kapal.
Pasal 68
(1) Setiap lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dilakukan
evaluasi secara berkala.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melalui media cetak
dan/atau elektronik.
Pasal 69
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan penempatan kapal pada
lintas penyeberangan diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V
ANGKUTAN DI PERAIRAN UNTUK DAERAH MASIH TERTINGGAL
DAN/ATAU WILAYAH TERPENCIL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 70
(1) Angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil
dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota.
(2) Angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
pelayaran-perintis dan penugasan.
(3) Kegiatan pelayaran-perintis dan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan yang bergerak di bidang:
a. angkutan laut;
b. angkutan sungai dan dana u; atau
c. angkutan penyeberangan.
Bagian Kedua
Pelayaran-Perintis
Pasal 71
(1) Kegiatan pelayaran-perintis dilakukan untuk:
a. menghubungkan daerah yang masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil yang belum
berkembang dengan daerah yang sudah berkemb ang atau maju;
b. menghubungkan daerah yang moda transportasi lainnya belum memadai; dan
c. menghubungkan daerah yang secara komersial belum menguntungkan untuk dilayani
oleh pelaksana kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau, atau angkutan
penyeberangan.
(2) Kegiatan pelayaran-perintis yang dilakukan di daerah yang masih tertinggal dan/atau
wilayah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan berdasarkan
kriteria:
a. belum dilayani oleh pelaksana kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau
atau angkutan penyeberangan yang beroperasi secara tetap dan teratur;
b. secara komersial belum menguntungkan; atau
c. tingkat pendapatan perkapita penduduknya masih rendah.
Pasal 72
(1) Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dilaksanakan oleh
pelaksana kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau, atau angkutan
penyeberangan dengan biaya yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.
(2) Biaya yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan subsidi sebesar selisih biaya pengoperasian kapal
pelayaran-perintis yang dikeluarkan oleh perusahaan angkutan laut nasional, perusahaan
angkutan sungai dan danau, atau perusahaan angkutan penyeberangan dengan
pendapatan dan/atau penghasilan uang tambang barang dan penumpang pada suatu
trayek tertentu.
(3) Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara
kontrak jangka panjang dengan perusahaan angkutan di perairan menggunakan kapal
berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal yang diawaki oleh
awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 73
Penyelenggaraan pelayaran-perintis dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain
berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah.
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kegiatan pelayaran-perintis diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penugasan
Pasal 75
(1) Penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dilakukan untuk:
a. menjamin kesinambungan pelayanan angkutan di perairan;
b. membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan angkutan di perairan; dan
c. memperlancar arus mobilisasi penumpang dan barang.
(2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada perusahaan angkutan
laut nasional dengan mendapatkan kompensasi dari Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah sebesar selisih antara biaya produksi dan tarif yang ditetapkan Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah sebagai kewajiban pelayanan publik.
(3) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh:
a. Menteri, untuk tarif penumpang kelas ekonomi:
1. angkutan laut;
2. angkutan sungai dan danau antarprovinsi dan antarnegara; dan
3. angkutan penyeberangan antarprovinsi dan antarnegara;
b. gubernur, untuk tarif penumpang kelas ekonomi:
1. angkutan sungai dan danau antarkabupaten/kota dalam satu provinsi; dan
2. angkutan penyeberangan antarkabupaten/kota dalam satu provinsi;
c. bupati/walikota, untuk tarif penumpang kelas ekonomi:
1. angkutan sunga i dan danau dalam kabupaten/kota; dan
2. angkutan penyeberangan dalam kabupaten/kota.
(4) Dalam hal penugasan untuk angkutan sungai dan danau serta angkutan penyeberangan,
pelaksanaannya diberikan kepada perusahaan angkutan di perairan yang memiliki izin
usaha di bidang angkutan sungai dan danau serta angkutan penyeberangan.
Pasal 76
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kegiatan penugasan angkutan di
perairan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Trayek Angkutan di Perairan Unt uk Daerah Masih
Tertinggal dan/atau Wilayah Terpencil
Pasal 77
(1) Kegiatan angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil
dengan pelayaranperintis dan penugasan dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur.
(2) Trayek angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan dilakukan evaluasi
setiap tahun.
(3) Menteri dalam menetapkan trayek angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal
dan/atau wilayah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mempertimbangkan:
a. keterpaduan intramoda transportasi laut dan antarmoda transportasi darat, laut, dan
udara;
b. usul dan saran pemerintah daerah setempat;
c. kesiapan fasilitas pelabuhan atau tempat lain yang ditunjuk;
d. kesiapan fasilitas keselamatan pelayaran;
e. keterpaduan dengan program sektor lain; dan
f. keterpaduan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Penempatan kapal untuk mengisi trayek angkutan di perairan untuk daerah masih
tertinggal dan/atau wilayah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan tipe dan ukuran kapal.
(5) Perusahaan angkutan laut nasional yang menyelenggarakan angkutan di perairan untuk
daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dengan trayek tetap dan teratur
hanya dimungkinkan melakukan penyimpangan trayek berupa omisi, deviasi, dan
penggantian kapal atau substitusi karena alasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (2) berdasarkan izin dari Menteri.
Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan trayek angkutan di perairan untuk
daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VI
KEGIATAN JASA TERKAIT DENGAN ANGKUTAN DI PERAIRAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 79
(1) Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan, dapat diselenggarakan usaha jasa
terkait dengan angkutan di perairan.
(2) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. bongkar muat barang;
b. jasa pengurusan transportasi;
c. angkutan perairan pelabuhan;
d. penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut;
e. tally mandiri;
f. depo peti kemas;
g. pengelolaan kapal;
h. perantara jual beli dan/atau sewa kapal;
i. keagenan awak kapal;
j. keagenan kapal; dan
k. perawatan dan perbaikan kapal.
Bagian Kedua
Kegiatan Usaha Bongkar Muat Barang
Pasal 80
(1) Kegiatan usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2)
huruf a merupakan kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar dan muat
barang dari dan ke kapal di pelabuhan yang meliputi kegiatan stevedoring, cargodoring,
dan receiving/delivery.
(2) Kegiatan usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk bongkar muat barang di pelabuhan.
(3) Selain badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kegiatan bongkar muat barang
tertentu dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional hanya untuk kegiatan
bongkar muat barang tertentu untuk kapal yang dioperasikannya.
(4) Kegiatan bongkar muat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan oleh
perusahaan angkutan laut, izin usahanya melekat pada izin usaha pokoknya.
(5) Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi barang:
a. milik penumpang;
b. curah cair yang dibongkar atau dimuat melalui pipa;
c. curah kering yang dibongkar atau dimuat melalui conveyor atau sejenisnya; dan
d. yang diangkut di atas kendaraan melalui kapal Ro-Ro.
(6) Perusahaan angkutan laut nasional dapat melakukan bongkar muat semua jenis barang
apabila di pelabuhan tersebut tidak terdapat perusahaan bongkar muat barang.
(7) Perusahaan angkutan laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus memiliki
kapal yang dilengkapi dengan peralatan bongkar muat barang dan tenaga ahli.
Pasal 81
(1) Pelaksanaan kegiatan usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
80 ayat (2) dilaksanakan dengan menggunakan peralatan bongkar muat oleh tenaga
kerja bongkar muat.
(2) Peralatan bongkar muat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan laik operasi dan menjamin keselamatan kerja.
(3) Tenaga kerja bongkar muat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki
kompetensi di bidang bongkar muat.
(4) Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan, Pemerintah,
pemerintah daerah, atau badan hukum Indonesia dapat menyelenggarakan pendidikan
dan pelatihan di bidang bongkar muat barang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Kegiatan Usaha Jasa Pengurusan Transportasi
Pasal 82
(1) Kegiatan usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79
ayat (2) huruf b, meliputi:
a. penerimaan;
b. penyimpanan;
c. sortasi;
d. pengepakan;
e. penandaan;
f. pengukuran;
g. penimbangan;
h. penerbitan dokumen angkutan;
i. pengurusan penyelesaian dokumen;
j. pemesanan ruangan pengangkut;
k. pengiriman;
l. pengelolaan pendistribusian;
m. perhitungan biaya angkutan dan logistik;
n. klaim;
o. asuransi atas pengiriman barang;
p. penyelesaian tagihan dan biaya lainnya yang diperlukan;
q. penyediaan sistem informasi dan komunikasi; dan
r. layanan logistik.
(2) Kegiatan usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa pengurusan
transportasi.
Bagian Keempat
Kegiatan Usaha Angkutan Perairan Pelabuhan
Pasal 83
(1) Kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79
ayat (2) huruf c merupakan kegiatan usaha untuk memindahkan penumpang dan/atau
barang dari dermaga ke kapal atau sebaliknya, dan dari kapal ke kapal di perairan
pelabuhan.
(2) Kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha angkutan perairan
pelabuhan.
(3) Selain badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kegiatan usaha angkutan
perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional.
(4) Kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan oleh perusahaan angkutan laut, izin usahanya melekat pada izin usaha
pokoknya.
Bagian Kelima
Kegiatan Usaha Penyewaan Peralatan Angkutan Laut atau
Peralatan Jasa Terkait Dengan Angkutan Laut
Pasal 84
(1) Kegiatan usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan
angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf d merupakan
kegiatan usaha untuk menyediakan dan menyewakan peralatan angkutan laut atau
peralatan jasa terkait dengan angkutan laut dan/atau alat apung untuk pelayanan kapal.
(2) Kegiatan usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan
angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang
didirikan khusus untuk usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa
terkait dengan angkutan laut.
Bagian Keenam
Kegiatan Usaha Tally Mandiri
Pasal 85
(1) Kegiatan usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf e
merupakan kegiatan jasa menghitung, mengukur, menimbang, dan membuat catatan
mengenai muatan untuk kepentingan pemilik muatan dan/atau pengangkut.
(2) Kegiatan usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan
usaha yang didirikan khusus untuk usaha tally mandiri.
(3) Kegiatan usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kapal
pada kegiatan stevedoring terhadap setiap kapal nasional maupun kapal asing yang
melakukan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal di wilayah kerja pelabuhan.
(4) Selain badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kegiatan tally dapat dilakukan
oleh perusahaan angkutan laut nasional, perusahaan bongkar muat atau perusahaan jasa
pengurusan transportasi, terbatas hanya untuk kegiatan cargodoring, receiving/delivery,
stuffing, dan stripping peti kemas bagi kepentingannya sendiri.
(5) Kegiatan tally sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dilakukan oleh perusahaan
angkutan laut nasional, perusahaan bongkar muat, atau perusahaan jasa pengurusan
transportasi, izin usahanya melekat pada izin usaha pokoknya.
Bagian Ketujuh
Kegiatan Usaha Depo Peti Kemas
Pasal 86
(1) Kegiatan usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf f
meliputi:
a. penyimpanan dan/atau penumpukan peti kemas;
b. pembersihan atau pencucian, perawatan, dan perbaikan peti kemas;
c. pemuatan dan pembongkaran less than container load cargo; dan
d. kegiatan lain yang antara lain terdiri atas:
1. pemindahan;
2. pengaturan atau angsur;
3. penataan;
4. lift on lift off secara mekanik;
5. pelaksanaan survei;
6. pengemasan;
7. pelabelan;
8. pengikatan/pelepasan;
9. pemeriksaan fisik barang;
10. penerimaan;
11. penyampaian; dan
12. tempat penimbunan yang peruntukkannya untuk kegiatan depo peti kemas dalam
pengawasan kepabeanan.
(2) Kegiatan usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha depo peti kemas.
(3) Kegiatan usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
di dalam atau di luar daerah lingkungan kerja pelabuhan.
Bagian Kedelapan
Kegiatan Usaha Pengelolaan Kapal
Pasal 87
(1) Kegiatan usaha pengelolaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf
g merupakan kegiatan pengelolaan kapal di bidang teknis kapal meliputi perawatan,
persiapan docking, penyediaan suku cadang, perbekalan, pengawakan, asuransi, dan
sertifikasi kelaiklautan kapal.
(2) Kegiatan usaha pengelolaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha pengelolaan kapal.
Bagian Kesembilan
Kegiatan Usaha Perantara Jual Beli dan/atau Sewa Kapal
Pasal 88
(1) Kegiatan usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2) huruf h merupakan kegiatan usaha perantara jual beli kapal dan/atau
sewa menyewa kapal.
(2) Kegiatan usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha perantara jual
beli dan/atau sewa kapal.
Bagian Kesepuluh
Kegiatan Usaha Keagenan Awak Kapal
Pasal 89
(1) Kegiatan usaha keagenan awak kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2)
huruf i merupakan kegiatan rekruitmen awak kapal dan penempatannya di kapal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Kegiatan usaha keagenan awak kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha keagenan awak kapal.
Bagian Kesebelas
Kegiatan Usaha Keagenan Kapal
Pasal 90
(1) Kegiatan usaha keagenan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf j
merupakan kegiatan mengurus kepentingan kapal perusahaan angkutan laut asing
dan/atau kapal perusahaan angkutan laut nasional selama berada di Indonesia.
(2) Kegiatan usaha keagenan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
oleh:
a. perusahaan nasional keagenan kapal; atau
b. perusahaan angkutan laut nasional.
(3) Kegiatan keagenan kapal yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, izin usahanya melekat pada izin usaha
pokoknya.
Bagian Keduabelas
Kegiatan Usaha Perawatan dan Perbaikan Kapal
Pasal 91
(1) Kegiatan usaha perawatan dan perbaikan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79
ayat (2) huruf k merupakan kegiatan perawatan dan perbaikan kapal yang dilaksanakan
di kapal dalam kondisi mengapung.
(2) Kegiatan usaha perawatan dan perbaikan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha perawatan dan
perbaikan kapal.
BAB VII
PERIZINAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 92
Badan usaha atau orang perseorangan warga Negara Indonesia yang akan melakukan
kegiatan usaha angkutan di perairan wajib memiliki:
a. izin usaha angkutan di perairan;
b. izin usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan; dan/atau
c. izin operasi angkutan di perairan.
Bagian Kedua
Izin Usaha Angkutan di Perairan
Paragraf 1
Umum
Pasal 93
Izin usaha angkutan di perairan terdiri atas:
a. izin usaha angkutan laut;
b. izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat;
c. izin usaha angkutan sungai dan danau; dan
d. izin usaha angkutan penyeberangan.
Paragraf 2
Izin Usaha Angkutan Laut
Pasal 94
(1) Izin usaha angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf a diberikan oleh:
a. Menteri bagi badan usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antarprovinsi
dan internasional;
b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah
provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi;
atau
c. bupati/walikota yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah
kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. administrasi; dan
b. teknis.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. memiliki akta pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki penanggung jawab;
d. menempati tempat usaha, baik berupa milik sendiri maupun sewa, berdasarkan surat
keterangan domisili perusahaan dari instansi yang berwenang; dan
e. memiliki tenaga ahli di bidang ketatalaksanaan, nautis, dan/atau teknis pelayaran niaga.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. memiliki kapal motor berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran paling kecil
GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage);
b. memiliki kapal tunda berbendera Indonesia yang laik laut dengan daya motor penggerak
paling kecil 150 (seratus lima puluh) tenaga kuda (TK) dengan tongkang berukuran paling
kecil GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage);
c. memiliki kapal tunda berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran paling kecil
GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage); atau
d. memiliki tongkang bermesin berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran paling
kecil GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage).
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan angkutan laut
masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 95
(1) Untuk memperoleh izin usaha angkutan laut, badan usaha mengajukan permohonan
kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya disertai
dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3) dan ayat
(4).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan
permohonan izin usaha angkutan laut dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
94 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon
untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (4) telah terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya menerbitkan izin usaha angkutan laut.
Pasal 96
(1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja
sama dengan perusahaan angkutan laut asing, badan hukum asing, atau warga negara asing
dalam bentuk usaha patungan (joint venture) dengan membentuk perusahaan angkutan laut
yang memiliki kapal berbendera Indonesia paling sedikit 1 (satu) unit dengan ukuran
paling kecil GT 5.000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Batasan kepemilikan modal asing dalam perusahaan angkutan laut patungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama perusahaan tersebut
masih menjalankan usahanya.
Pasal 97
(1) Pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam izin usaha angkutan laut;
b. melakukan kegiatan operasional secara nyata dan terus menerus paling lama 3 (tiga)
bulan sejak izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pelayaran serta
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. menyediakan fasilitas untuk angkutan pos;
e. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin apabila terjadi perubahan nama
direktur utama atau nama penanggungjawab dan/atau nama pemilik, nomor pokok wajib
pajak perusahaan, domisili perusahaan, dan status kepemilikan kapal paling lama 14
(empat belas) hari setelah terjadinya perubahan tersebut;
f. memberikan prioritas akomodasi untuk taruna atau calon perwira yang melakukan
praktek kerja laut;
g. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin semua data kapal milik dan/atau
kapal charter serta kapal yang dioperasikan; dan
h. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin setiap pembukaan kantor cabang
perusahaan angkutan laut.
(2) Pemegang izin perusahaan angkutan laut dalam melakukan kegiatan usahanya, wajib
menyampaikan laporan:
a. perkembangan komposisi kepemilikan modal perusahaan paling lama 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun kepada pejabat pemberi izin;
b. kinerja keuangan perusahaan paling lama 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kepada
pejabat pemberi izin;
c. kedatangan dan keberangkatan kapal (LK3), daftar muatan di atas kapal (cargo manifest)
kepada Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat;
d. bulanan kegiatan kunjungan kapal kepada Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan atau Unit
Penyelenggara Pelabuhan setempat, paling lama dalam 14 (empat belas) hari pada bulan
berikutnya yang merupakan rekapitulasi dari laporan kedatangan dan keberangkatan kapal;
dan
e. tahunan kegiatan perusahaan kepada pejabat pemberi izin, paling lama tanggal 1
Februari pada tahun berjalan yang merupakan rekapitulasi dari realisasi perjalanan kapal.
Pasal 98
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha angkutan laut diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Izin Usaha Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat
Pasal 99
(1) Izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf
b diberikan oleh:
a. gubernur yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau
badan usaha yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota
dalam wilayah provinsi, pelabuhan antarprovinsi, dan pelabuhan internasional; atau
b. bupati/walikota yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia
atau badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada
lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. administrasi; dan
b. teknis.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. memiliki akta pendirian perusahaan bagi pemohon berbentuk badan usaha atau kartu
tanda penduduk bagi orang perseorangan warga negara Indonesia yang mengajukan
permohonan izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak;
c. memiliki penanggung jawab;
d. menempati tempat usaha, baik berupa milik sendiri maupun sewa, berdasarkan surat
keterangan domisili dari instansi yang berwenang; dan
e. memiliki paling sedikit 1 (satu) orang tena ga ahli di bidang ketatalaksanaan, nautis
tingkat dasar, atau teknis pelayaran niaga tingkat dasar.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. kapal layar (KL) berbendera Indonesia yang laik laut dan digerakkan sepenuhnya
dengan tenaga angin;
b. kapal layar motor (KLM) tradisional berbendera Indonesia yang laik laut berukuran
sampai dengan GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) dan digerakkan oleh tenaga angin
sebagai penggerak utama dan motor sebagai tenaga penggerak bantu; atau
c. kapal motor (KM) berbendera Indonesia yang laik laut berukuran paling kecil GT 7
(tujuh Gross Tonnage) serta paling besar GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) yang
dibuktikan dengan salinan grosse akta, surat ukur, dan sertifikat keselamatan kapal yang
masih berlaku.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan angkutan laut
pelayaran-rakyat masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun
sekali oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 100
(1) Untuk memperoleh izin usaha angkutan laut pelayaranrakyat, orang perseorangan
warga negara Indonesia atau badan usaha mengajukan permohonan kepada gubernur atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya disertai dengan dokumen persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) dan ayat (4).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan
permohonan izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
99 ayat (3) dan ayat
(4) belum terpenuhi, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi
persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya setelah
permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (4) telah terpenuhi, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya memberikan izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat.
(6) Izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat yang telah diberikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) harus dilaporkan oleh gubernur atau bupati/walikota secara berkala setiap 6
(enam) bulan kepada Menteri untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi
angkutan di perairan.
Pasal 101
(1) Pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usaha angkutan laut
pelayaran-rakyat;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 6 (enam) bulan
setelah izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pelayaran serta
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya;
d. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin apabila terjadi perubahan
nama direktur atau penanggung jawab atau pemilik dan domisili perusahaan, nomor
pokok wajib pajak perusahaan serta status kepemilikan kapalnya paling lama 14
(empat belas) hari setelah terjadi perubahan;
e. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin semua data kapal milik atau
kapal yang dioperasikan; dan
f. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin setiap pembukaan kantor
cabang.
(2) Pemegang izin perusahaan angkutan laut pelayaranrakyat dalam melakukan kegiatan
usahanya wajib menyampaikan:
a. rencana kedatangan kapal paling lama 24 (dua puluh empat) jam sebelum kapal tiba
di pelabuhan dan keberangkatan kapal setelah pemuatan/pembongkaran selesai
dilakukan dan menyelesaikan kewajiban lainnya di pelabuhan kepada Syahbandar
dan Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat;
b. laporan bulanan kegiatan kunjungan kapal kepada Syahbandar dan Otoritas
Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat paling lama 14 (empat
belas) hari pada bulan berikutnya yang merupakan rekapitulasi dari laporan
kedatangan dan keberangkatan kapal;
c. realisasi perjalanan kapal kepada pejabat pemberi izin bagi kapal dengan trayek tetap
dan teratur paling lama 14 (empat belas) hari sejak kapal menyelesaikan 1 (satu)
perjalanan (round voyage), sedangkan bagi kapal dengan trayek tidak tetap dan tidak
teratur pada setiap 1 (satu) bulan; dan
d. laporan tahunan kegiatan perusahaan kepada pejabat pemberi izin dengan tembusan
kepada Menteri paling lama tanggal 1 Februari pada tahun berjalan yang merupakan
rekapitulasi dari laporan realisasi perjalanan kapal.
Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha angkutan laut pelayaranrakyat
diatur denganPeraturan Menteri.
Paragraf 4
Izin Usaha Angkutan Sungai dan Danau
Pasal 103
(1) Izin usaha angkutan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf c
diberikan oleh:
a. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, untuk orang perseorangan warga
negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota
Jakarta; atau
b. bupati/walikota, sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia
atau badan usaha.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki akta pendirian perusahaan bagi pemohon yang berbentuk badan hukum
Indonesia atau kartu tanda penduduk bagi warga negara Indonesia perorangan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak;
c. memiliki penanggungjawab;
d. menempati tempat usaha, baik berupa milik sendiri maupun sewa, berdasarkan surat
keterangan domisili dari instansi yang berwenang; dan
e. pernyataan tertulis sanggup memiliki paling sedikit 1 (satu) unit kapal yang
memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan angkutan sungai
dan danau masih menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 104
(1) Untuk memperoleh izin usaha angkutan sungai dan danau, setiap orang atau badan
usaha mengajukan permohonan kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya disertai dengan dokumen
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha angkutan sungai dan
danau dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima
permohonan secara lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
103 ayat (2) belum terpenuhi, Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan permohonan secara
tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (4) telah terpenuhi, Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau
bupati/walikota sesuai dengankewenangannya menerbitkan izin usaha angkutan sungai
dan danau.
Pasal 105
(1) Selain memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (5), kapal yang
akan dioperasikan wajib memiliki izin trayek.
(2) Izin trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh:
a. Menteri, untuk kapal yang melayani trayek antarprovinsi dan/atau antarnegara;
b. gubernur, untuk kapal yang melayani trayek antarkabupaten/kota dalam wilayah
provinsi yang bersangkutan; atau
c. bupati/walikota, untuk kapal yang melayani trayek dalam wilayah kabupaten/kota
yang bersangkutan.
(3) Izin trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah memiliki kapal yang
laik laut yang dibuktikan dengan grosse akta dan dilengkapi dengan rencana pola
trayek.
(4) Izin trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 5 (lima) tahun dan
dapat diperpanjang.
Pasal 106
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha dan izin trayek kapal
angkutan sungai dan danau diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 5
Izin Usaha Angkutan Penyeberangan
Pasal 107
(1) Izin usaha angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf d
diberikan oleh:
a. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk badan usaha yang
berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau
b. bupati/walikota sesuai dengan domisili badan usaha.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki akta pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki penanggung jawab;
d. menempati tempat usaha, baik berupa milik sendiri maupun sewa berdasarkan surat
keterangan domisili dari instansi yang berwenang;
e. pernyataan tertulis sanggup memiliki kapal berbendera Indonesia yang memenuhi
persyaratan kelaiklautan kapal; dan
f. memiliki tenaga ahli di bidang ketatalaksanaan, nautis, dan/atau teknis pelayaran
niaga.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan angkutan
penyeberangan masih menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 108
(1) Untuk memperoleh izin usaha angkutan penyeberangan, badan usaha mengajukan
permohonan kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya disertai dengan dokumen persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha angkutan penyeberangan
dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan
secara lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
107 ayat (2) belum terpenuhi, Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan permohonan secara
tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3) telah terpenuhi, Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menerbitkan izin usaha angkutan
penyeberangan.
Pasal 109
(1) Selain memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (5), kapal yang
akan dioperasikan wajib memiliki persetujuan pengoperasian kapal.
(2) Persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh:
a. Menteri, untuk kapal yang melayani penyeberangan antarprovinsi dan/atau
antarnegara;
b. gubernur, untuk kapal yang melayani penyeberangan antarkabupaten/kota dalam
provinsi; atau
c. bupati/walikota, untuk kapal yang melayani penyeberangan dalam kabupaten/kota
provinsi.
(3) Persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah
memiliki kapal yang laik laut yang dibuktikan dengan grosse akta.
(4) Persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 5
(lima) tahun dan dapat diperpanjang.
Pasal 110
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha dan persetujuan
pengoperasian kapal angkutan penyeberangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Izin Usaha Jasa Terkait Dengan Angkutan di Perairan
Paragraf 1
Umum
Pasal 111
Izin usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan terdiri atas:
a. izin usaha bongkar muat barang;
b. izin usaha jasa pengurusan transportasi;
c. izin usaha angkutan perairan pelabuhan;
d. izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan
angkutan laut;
e. izin usaha tally mandiri;
f. izin usaha depo peti kemas;
g. izin usaha pengelolaan kapal;
h. izin usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal;
i. izin usaha keagenan awak kapal;
j. izin usaha keagenan kapal; dan
k. izin usaha perawatan dan perbaikan kapal.
Paragraf 2
Izin Usaha Bongkar Muat Barang
Pasal 112
(1) Izin usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf a
diberikan oleh gubernur pada lokasi pelabuhan tempat kegiatan.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. administrasi; dan
b. teknis.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. memiliki akta pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki modal usaha;
d. memiliki penanggung jawab;
e. menempati tempat usaha, baik berupa milik sendiri maupun sewa, berdasarkan surat
keterangan domisili perusahaan dari instansi yang berwenang;
f. memiliki tenaga ahli dengan kualifikasi ahli nautika atau ahli ketatalaksanaan
pelayaran niaga; dan
g. memiliki surat rekomendasi/pendapat tertulis dari Otoritas Pelabuhan atau Unit
Penyelenggara Pelabuhan setempat terhadap keseimbangan penyediaan dan
permintaan kegiatan usaha bongkar muat.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit memiliki
peralatan bongkar muat berupa:
a. forklift;
b. pallet;
c. ship side-net;
d. rope sling;
e. rope net; dan
f. wire net.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama perusahaan bongkar muat
masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh
gubernur.
(6) Izin usaha bongkar muat barang yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) harus dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri
untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan.
Pasal 113
(1) Untuk memperoleh izin usaha bongkar muat barang, badan usaha mengajukan
permohonan kepada gubernur disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3) dan ayat (4).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan
penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha bongkar muat barang dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara
lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara
tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112 ayat (3) dan ayat (4) telah terpenuhi, gubernur menerbitkan izin usaha bongkar
muat barang.
Pasal 114
Perusahaan bongkar muat yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 113 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. menyampaikan rencana pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang kepada Otoritas
Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat paling lama 1 (satu) hari
sebelum kapal tiba di pelabuhan;
e. menyampaikan laporan bulanan kegiatan bongkar muat barang kepada pemberi izin dan
Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat paling lama 14 (empat
belas) hari pada bulan berikutnya;
f. melaporkan secara tertulis kegiatan usahanya setiap tahun kepada pemberi izin dengan
tembusan kepada Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat
paling lambat tanggal 1 Februari pada tahun berikutnya;
g. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan data pada izin usaha perusahaan
kepada pemberi izin untuk dilakukan penyesuaian; dan
h. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang.
Pasal 115
(1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja
sama dengan perusahaan bongkar muat asing, badan hukum asing, atau warga negara
asing dalam bentuk usaha patungan dengan membentuk perusahaan bongkar muat
nasional.
(2) Batasan kepemilikan modal asing dalam perusahaan bongkar muat patungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama
perusahaan tersebut masih menjalankan usahanya.
(3) Perusahaan pemegang izin usaha yang berbentuk usaha patungan dapat melakukan
kegiatan bongkar muat barang hanya pada pelabuhan utama di satu wilayah provinsi.
Pasal 116
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha bongkar muat barang
diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Izin Usaha Jasa Pengurusan Transportasi
Pasal 117
(1) Izin usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf b
diberikan oleh gubernur tempat perusahaan berdomisili.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki akte pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki modal usaha;
d. memiliki penanggung jawab;
e. memiliki peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan teknologi;
f. memiliki tenaga ahli yang sesuai; dan
g. memiliki surat keterangan domisili perusahaan.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan jasa pengurusan
transportasi masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun
sekali oleh gubernur.
(4) Izin usaha jasa pengurusan transportasi yang telah diberikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan
kepada Menteri untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di
perairan.
Pasal 118
(1) Untuk memperoleh izin usaha jasa pengurusan transportasi, badan usaha mengajukan
permohonan kepada gubernur disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan
penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha jasa pengurusan transportasi dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) ha ri kerja sejak diterima permohonan secara
lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
117 ayat (2) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara tertulis
kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
117 ayat (2) telah terpenuhi, gubernur menerbitkan izin usaha jasa pengurusan
transportasi.
Pasal 119
Perusahaan jasa pengurusan transportasi yang telah mendapat izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 118 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin;
e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggungjawab dan/atau pemilik
perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan
f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang.
Pasal 120
(1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja
sama dengan perusahaan jasa pengurusan transportasi asing, badan hukum asing, atau
warga negara asing dalam bentuk usaha patungan dengan membentuk perusahaan jasa
pengurusan transportasi nasional.
(2) Batasan kepemilikan modal asing dalam perusahaan jasa pengurusan transportasi
patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama
perusahaan tersebut masih menjalankan usahanya.
Pasal 121
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha jasa pengurusan
transportasi diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 4
Izin Usaha Angkutan Perairan Pelabuhan
Pasal 122
(1) Izin usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf c
diberikan oleh gubernur pada lokasi pelabuhan tempat kegiatan.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. administrasi; dan
b. teknis.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. memiliki akte pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki modal usaha;
d. memiliki penanggung jawab;
e. memiliki tenaga ahli yang sesuai;
f. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
g. memiliki surat rekomendasi/pendapat tertulis dari Otoritas Pelabuhan atau Unit
Penyelenggara Pelabuhan setempat.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus memiliki kapal
yang memenuhi persyaratan kelaiklautan.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan angkutan perairan
pelabuhan masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun
sekali oleh gubernur.
(6) Izin usaha angkutan perairan pelabuhan yang telah diberikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) harus dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan
kepada Menteri untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di
perairan.
Pasal 123
(1) Untuk memperoleh izin usaha angkutan perairan pelabuhan, badan usaha mengajukan
permohonan kepada gubernur disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 122 ayat (3) dan ayat (4).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan
penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha angkutan perairan pelabuhan dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara
lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
122 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara
tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
122 ayat (3) dan ayat (4) telah terpenuhi, gubernur menerbitkan izin usaha angkutan
perairan pelabuhan.
Pasal 124
Perusahaan usaha angkutan perairan pelabuhan yang telah mendapat izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin;
e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/atau
pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan
f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang.
Pasal 125
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha angkutan perairan
pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 5
Izin Usaha Penyewaan Peralatan Angkutan Laut atau Peralatan
Jasa Terkait Denga n Angkutan Laut
Pasal 126
(1) Izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan
angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf d diberikan oleh gubernur
pada tempat perusahaan berdomisili.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki akte pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki modal usaha;
d. memiliki penanggung jawab;
e. memiliki peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan teknologi;
f. memiliki tenaga ahli yang sesuai;
g. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
h. memiliki surat rekomendasi/pendapat tertulis dari Otoritas Pelabuhan atau Unit
Penyelenggara Pelabuhan setempat.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan penyewaan
peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut masih
menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh
gubernur.
(4) Izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan
angkutan laut yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri untuk
dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan.
Pasal 127
(1) Untuk memperoleh izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa
terkait dengan angkutan laut, badan usaha mengajukan permohonan kepada gubernur
disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan
penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut
atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
126 ayat (2) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara tertulis
kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
126 ayat (2) telah terpenuhi, gubernur menerbitkan izin usaha penyewaan peralatan
angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut.
Pasal 128
Perusahaan penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angk utan
laut yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (5)
wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. menyampaikan laporan bulanan kepada pemberi izin;
e. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/atau pemilik perusahaan
dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan
f. melaporkan setiap pembukaan kantor cabang.
Pasal 129
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha penyewaan peralatan
angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut diatur dengan Peraturan
Menteri.
Paragraf 6
Izin Usaha Tally Mandiri
Pasal 130
(1) Izin usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf e diberikan oleh
gubernur pada tempat perusahaan berdomisili.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki akte pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki modal usaha;
d. memiliki penanggung jawab;
e. memiliki peralatan yang sesuai dengan perkembangan teknologi;
f. memiliki tenaga ahli yang sesuai;
g. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
h. memiliki surat rekomendasi/pendapat tertulis dari otoritas pelabuhan atau unit
penyelenggaran pelabuhan setempat.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan tally mandiri
masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh
gubernur.
(4) Izin usaha tally mandiri yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri untuk
dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan.
Pasal 131
(1) Untuk memperoleh izin usaha tally mandiri, badan usaha mengajukan permohonan
kepada gubernur disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 130 ayat (2).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan
penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha tally mandiri dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
130 ayat (2) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara tertulis
kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dala m Pasal
130 ayat (2) telah terpenuhi, gubernur menerbitkan izin usaha tally mandiri.
Pasal 132
Perusahaan tally mandiri yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 131 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin;
e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/atau
pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan
f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang.
Pasal 133
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha tally mandiri diatur dengan
Peraturan Menteri.
Paragraf 7
Izin Usaha Depo Peti Kemas
Pasal 134
(1) Izin usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf f diberikan
oleh gubernur pada tempat perusahaan berdomisili.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. administrasi; dan
b. teknis.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. memiliki akte pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki modal usaha;
d. memiliki penanggung jawab;
e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan;
f. memiliki persetujuan studi lingkungan dari instansi pemerintah daerah
kabupaten/kota setempat dan provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
termasuk di dalamnya kajian lalu lintas;
g. memiliki rekomendasi kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
dari bupati/walikota setempat; dan
h. memiliki izin gangguan dan perlindungan masyarakat yang diterbitkan oleh pejabat
yang berwenang.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. menguasai lahan yang dibuktikan:
1. hak penguasaan atau kepemilikan untuk usaha depo peti kemas yang berada di
luar daerah lingkungan kerja daratan pelabuhan; dan
2. kerja sama dengan penyelenggara pelabuhan untuk usaha depo peti kemas yang
berada di dalam daerah lingkungan kerja daratan pelabuhan.
b. memiliki peralatan paling sedikit meliputi:
1. reach stacker;
2. top loader;
3. side loader; dan
4. forklift.
c. memiliki tenaga ahli dengan kualifikasi ahli nautika, ahli ketatalaksanaan pelayaran
niaga, atau ahli manajemen transportasi laut.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan depo peti kemas
masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh
gubernur.
(6) Izin usaha depo peti kemas yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
harus dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri
untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan.
Pasal 135
(1) Untuk memperoleh izin usaha depo peti kemas, badan usaha mengajukan permohonan
kepada gubernur disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 134 ayat (3) dan ayat (4).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan
penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha depo peti kemas dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
134 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara
tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
134 ayat (3) dan ayat (4) telah terpenuhi gubernur menerbitkan izin usaha depo peti
kemas.
Pasal 136
Perusahaan depo peti kemas yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 135 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin;
e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/atau
pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan
f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang.
Pasal 137
(1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja
sama dengan perusahaan depo peti kemas asing, badan hukum asing, atau warga negara
asing dalam bentuk usaha patungan dengan membentuk perusahaan depo peti kemas
nasional.
(2) Batasan kepemilikan modal asing dalam perusahaan depo peti kemas patungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama
perusahaan tersebut masih menjalankan usahanya.
Pasal 138
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha depo peti kemas diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 8
Izin Usaha Pengelolaan Kapal
Pasal 139
(1) Izin usaha pengelolaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf g diberikan
oleh Menteri.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki akte pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki modal usaha;
d. memiliki penanggung jawab;
e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
f. memiliki tenaga ahli yang menguasai bidang pengelolaan kapal yang dibuktikan
dengan sertifikat keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan pengelolaan kapal
masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh
Menteri.
Pasal 140
(1) Untuk memperoleh izin usaha pengelolaan kapal, badan usaha mengajukan permohonan
kepada Menteri disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 ayat (2).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan
penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha pengelolaan kapal dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara
lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
139 ayat (2) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan secara tertulis
kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada Menteri setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
139 ayat (2) telah terpenuhi, Menteri menerbitkan izin usaha pengelolaan kapal.
Pasal 141
Badan usaha pengelolaan kapal yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin;
e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/atau
pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan
f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang.
Pasal 142
(1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja
sama dengan perusahaan pengelolaan kapal asing, badan hukum asing, atau warga
negara asing dalam bentuk usaha patungan dengan membentuk perusahaan pengelolaan
kapal nasional.
(2) Batasan kepemilikan modal asing dalam badan usaha pengelolaan kapal patungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama
perusahaan tersebut masih menjalankan usahanya.
Pasal 143
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha pengelolaan kapal diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 9
Izin Usaha Perantara Jual Beli dan/atau Sewa Kapal
Pasal 144
(1) Izin usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
111 huruf h diberikan oleh Menteri.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki akte pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki modal usaha;
d. memiliki penanggung jawab;
e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
f. memiliki tenaga ahli di bidang perantara jual beli dan/atau sewa kapal yang
dibuktikan dengan sertifikat keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau
pelatihan.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan perantara jual beli
dan/atau sewa kapal masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua)
tahun sekali oleh Menteri.
Pasal 145
(1) Untuk memperoleh izin usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal, badan usaha
mengajukan permohonan kepada Menteri disertai dengan dokumen persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (2).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan
penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha perantara jual beli dan/atau sewa
kapal dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima
permohonan secara lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
144 ayat (2) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan secara tertulis
kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada Menteri setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
144 ayat (2) telah terpenuhi, Menteri menerbitkan izin usaha perantara jual beli dan/atau
sewa kapal.
Pasal 146
Perusahaan perantara jual beli dan/atau sewa kapal yang telah mendapat izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin;
e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/atau
pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan
f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang.
Pasal 147
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha perantara jual beli dan/atau
sewa kapal diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 10
Izin Usaha Keagenan Awak kapal
Pasal 148
(1) Izin usaha keagenan awak kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf i
diberikan oleh Menteri.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki akte pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki modal usaha;
d. memiliki penanggung jawab;
e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
f. memiliki tenaga ahli di bidang kepelautan, ahli nautika, dan/atau ahli teknika.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan keagenan awak
kapal masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali
oleh Menteri.
Pasal 149
(1) Untuk memperoleh izin usaha keagenan awak kapal, badan usaha mengajukan
permohonan kepada Menteri disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 148 ayat (2).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan
penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha keagenan awak kapal dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara
lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
148 ayat (2) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan secara tertulis
kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada Menteri setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
148 ayat (2) telah terpenuhi, Menteri menerbitkan izin usaha keagenan awak kapal.
Pasal 150
Perusahaan keagenan awak kapal yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 149 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin;
e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/atau
pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan
f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang.
Pasal 151
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha keagenan awak kapal
diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 11
Izin Usaha Keagenan Kapal
Pasal 152
(1) Izin usaha keagenan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf j dalam
melakukan kegiatan usahanya wajib memiliki izin usaha yang diberikan oleh Menteri.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki akte pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki modal usaha;
d. memiliki penanggung jawab;
e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
f. memiliki tenaga ahli di bidang ketatalaksanaan, nautis, dan/atau teknis pelayaran
niaga.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan keagenan kapal
masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh
Menteri.
Pasal 153
(1) Untuk memperoleh izin usaha keagenan kapal, badan usaha mengajukan permohonan
kepada Menteri disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 152 ayat (2).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan
penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha keagenan kapal dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
152 ayat (2) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan secara tertulis
kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada Menteri setelah permoho nan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
152 ayat (2) telah terpenuhi Menteri menerbitkan izin usaha keagenan kapal.
Pasal 154
Perusahaan keagenan kapal yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 153 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin;
e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/atau
pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan
f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang.
Pasal 155
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha keagenan kapal diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 12
Izin Usaha Perawatan dan Perbaikan Kapal
Pasal 156
(1) Izin usaha perawatan dan perbaikan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111
huruf k diberikan oleh bupati/walikota tempat perusahaan berdomisili.
(2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki akte pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki modal usaha;
d. memiliki penanggung jawab;
e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
f. memiliki tenaga ahli di bidang perawatan dan perbaikan kapal.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan perawatan dan
perbaikan kapal masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua)
tahun sekali oleh bupati/walikota.
Pasal 157
(1) Untuk memperoleh izin usaha perawatan dan perbaikan kapal, badan usaha mengajukan
permohonan kepada bupati/walikota disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/walikota
melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha perawatan dan perbaikan
kapal dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima
permohonan secara lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
156 ayat (2) belum terpenuhi, bupati/walikota mengembalikan permohonan secara
tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada bupati/walikota setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
156 ayat (2) telah terpenuhi bupati/walikota menerbitkan izin usaha perawatan dan
perbaikan kapal.
Pasal 158
Perusahaan perawatan dan perbaikan kapal yang telah mendapat izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 157 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin;
e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/atau
pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan
f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang.
Pasal 159
(1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja
sama dengan perusahaan perawatan dan perbaikan kapal asing, badan hokum asing, atau
warga negara asing dalam bentuk usaha patungan dengan membentuk perusahaan
perawatan dan perbaikan kapal nasional.
(2) Batasan kepemilikan modal asing dalam perusahaan perawatan dan perbaikan kapal
patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama
perusahaan tersebut masih menjalankan usahanya.
Pasal 160
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha perawatan dan perbaikan
kapal diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Izin Operasi Angkutan di Perairan
Paragraf 1
Umum
Pasal 161
Izin operasi angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf c terdiri
atas:
a. izin operasi angkutan laut khusus; dan
b. izin operasi angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri.
Paragraf 2
Izin Operasi Angkutan Laut Khusus
Pasal 162
(1) Untuk dapat melakukan kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 161 huruf a, pelaksana kegiatan angkutan laut khusus wajib memiliki izin operasi
yang diberikan oleh Menteri.
(2) Izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. administrasi; dan
b. teknis.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. memiliki akte pendirian perusahaan;
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. memiliki penanggung jawab;
d. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
e. memiliki izin usaha dari instansi pembina usaha pokoknya.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. memiliki paling sedikit 1 (satu) unit kapal berbendera Indonesia yang laik laut
dengan ukuran dan tipe kapal disesuaikan dengan jenis usaha pokoknya yang
dibuktikan dengan salinan grosse akta, surat ukur, dan sertifikat keselamatan kapal;
dan
b. memiliki tenaga ahli di bidang ketatalaksanaan pelayaran niaga, nautika, dan/atau
teknika.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama pelaksana kegiatan angkutan
laut khusus masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun
sekali oleh Menteri.
Pasal 163
(1) Untuk memperoleh izin operasi angkutan laut khusus, pelaksana kegiatan angkutan laut
khusus mengajukan permohonan kepada Menteri disertai dengan dokumen persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (3) dan ayat (4).
(2) Berdasarkan permohona n sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan
penelitian atas persyaratan permohonan izin operasi angkutan laut khusus dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara
lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
162 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan secara
tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada Menteri setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
162 ayat (3) dan ayat (4) telah terpenuhi, Menteri menerbitkan izin operasi angkutan
laut khusus.
Pasal 164
Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus yang telah mendapatkan izin operasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 163 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah
izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. memberikan prioritas akomodasi untuk taruna atau siswa yang melaksanakan praktek
kerja laut;
e. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin;
f. melaporkan secara tertulis pengoperasian kapal milik dan atau kapal charter setiap 3
(tiga) bulan kepada pejabat pemberi izin;
g. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggungjawab dan/atau pemilik
perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan
h. melaporkan secara tertulis realisasi perjalanan kapal (voyage report) kepada pejabat
pemberi izin.
Pasal 165
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin operasi angkutan laut khusus
diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Izin Operasi Angkutan Sungai dan Danau Untuk Kepentingan Sendiri
Pasal 166
(1) Untuk dapat melakukan kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c, pelaksana kegiatan angkutan
sungai dan danau untuk kepentingan sendiri wajib memiliki izin operasi yang diberikan
oleh bupati/walikota sesuai dengan domisili kegiatan usaha pokoknya.
(2) Izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. administrasi; dan
b. teknis.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. memiliki akte pendirian perusahaan bagi yang berbentuk badan usaha;
b. memiliki kartu tanda penduduk bagi orang perseorangan warga negara Indonesia;
c. memiliki nomor pokok wajib pajak;
d. memiliki surat keterangan domisili bagi yang berbentuk badan usaha; dan
e. memiliki izin usaha dari instansi pembina usaha pokoknya.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. memiliki paling sedikit 1 (satu) unit kapal berbendera Indonesia yang laik laut
dengan ukuran dan tipe kapal disesuaikan dengan jenis usaha pokoknya yang
dibuktikan dengan salinan grosse akta, surat ukur, dan sertifikat keselamatan kapal;
dan
b. memiliki tenaga ahli di bidang ketatalaksanaan pelayaran niaga, nautika, dan/atau
teknika.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama pelaksana kegiatan angkutan
sungai dan danau untuk kepentingan sendiri masih menjalankan kegiatan usahanya dan
dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh bupati/walikota.
Pasal 167
(1) Untuk memperoleh izin operasi angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri,
pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau mengajukan permohonan kepada
bupati/walikota disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 166 ayat (3) dan ayat (4).
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bupati/walikota
melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin operasi angkutan sungai dan
danau untuk kepentingan sendiri dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak diterima permohonan secara lengkap.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
166 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, bupati/walikota mengembalikan permohonan
secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan
kembali kepada bupati/walikota setelah permohonan dilengkapi.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
166 ayat (3) dan ayat (4) telah terpenuhi bupati/walikota menerbitkan izin operasi
angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri.
Pasal 168
Pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri yang telah
mendapat izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (5) wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin operasinya;
b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 6 (enam) bulan
setelah izin operasi diterbitkan;
c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya;
d. melaporkan secara tertulis kegiatan operasinya setiap tahun kepada pemberi izin; dan
e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan nama penganggung jawab, pemilik
perusahaan, atau domisili perusahaan.
Pasal 169
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan izin operasi angkutan sungai dan
danau untuk kepentingan sendiri diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII
PENARIFAN
Bagian Kesatu
Tarif Angkutan Penumpang dan Tarif Angkutan Barang
Pasal 170
Tarif angkutan di perairan terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan barang.
Pasal 171
(1) Tarif angkutan penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 terdiri atas jenis
tarif untuk:
a. kelas ekonomi; dan
b. kelas non-ekonomi.
(2) Tarif angkutan penumpang kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditetapkan oleh Menteri.
(3) Tarif angkutan penumpang non-ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
ditetapkan oleh penyelenggara angkutan berdasarkan tingkat pelayanan yang diberikan.
Pasal 172
(1) Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ditetapkan oleh
penyedia jasa angkutan berdasarkan kesepakatan antara pengguna dan penyedia jasa
angkutan sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas jenis tarif untuk:
a. barang yang sesuai bentuk dan sifatnya memerlukan penanganan secara umum;
b. barang khusus yang karena sifat dan ukurannya memerlukan penanganan khusus
antara lain kayu gelondongan, barang curah, rel, dan ternak;
c. barang berbahaya yang karena sifat, ciri khas, dan keadaannya dapat membahayakan
jiwa manusia dan lingkungan yang dapat berbentuk bahan cair, bahan padat, dan
bahan gas; dan
d. kendaraan beserta muatannya yang diangkut kapal Ro-Ro.
(3) Struktur tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kerangka tarif yang dikaitkan dengan:
a. kekhususan jenis barang;
b. bentuk kemasan;
c. volume atau berat barang; dan
d. jarak atau waktu tempuh.
Pasal 173
Golongan tarif angkutan barang di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat
(1) merupakan penggolongan tarif yang ditetapkan berdasarkan:
a. jenis barang yang diangkut;
b. jenis pelayanan;
c. klasifikasi; dan
d. fasilitas angkutan.
Pasal 174
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif angkutan barang di
perairan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Tarif Usaha Jasa Terkait Dengan Angkutan di Perairan
Pasal 175
(1) Tarif usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
79 ayat (2) ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara
pengguna jasa dan penyedia jasa terkait sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan
yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Jenis tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. tarif bongkar muat barang;
b. tarif jasa pengurusan transportasi;
c. tarif angkutan perairan pelabuhan;
d. tarif penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan
laut;
e. tarif tally mandiri;
f. tarif depo peti kemas;
g. tarif pengelolaan kapal;
h. tarif perantara jual beli dan/atau sewa kapal;
i. tarif keagenan awak kapal;
j. tarif keagenan kapal; dan
k. tarif perawatan dan perbaikan kapal.
(3) Struktur tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan komponen dasar untuk
pedoman perhitungan besaran tarif.
(4) Golongan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penggolongan tarif
yang ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan jasa, klasifikasi, dan fasilitas yang
disediakan oleh penyedia jasa terkait.
Pasal 176
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif usaha jasa terkait
dengan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IX
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT
Bagian Kesatu
Wajib Angkut
Pasal 177
(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang
terutama angkutan pos yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan.
(2) Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan karcis
penumpang atau dokumen muatan.
(3) Sebelum melaksanakan pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan
angkutan di perairan harus memastikan:
a. sarana angkutan kapal telah memenuhi persyaratan kelaiklautan;
b. sarana angkutan kapal telah diisi bahan bakar dan air tawar yang cukup serta
dilengkapi dengan pasokan logistik;
c. ruang penumpang, ruang muatan, ruang pendingin, dan tempat penyimpanan lain di
kapal cukup memadai dan aman untuk ditempati penumpang dan/atau dimuati
barang; dan
d. cara pemuatan, penanganan, penyimpanan, penumpukan, dan pembongkaran barang
dan/atau naik atau turun penumpang dilakukan secara cermat dan berhati-hati.
Pasal 178
(1) Pada saat menyerahkan barang untuk diangkut, pemilik atau pengirim barang harus:
a. memberitahu pengangkut mengenai ciri-ciri umum barang yang akan diangkut dan
cara penanganannya apabila pengangkut menghendaki demikian; dan
b. memberi tanda atau label secara memadai terhadap barang khusus serta barang
berbahaya dan beracun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemilik atau pengirim barang bertanggung jawab sepenuhnya mengenai kebenaran
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan perusahaan angkutan
di perairan berhak menolak untuk mengangkut barang apabila pemilik barang tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 179
(1) Dalam keadaan tertentu Pemerintah memobilisasi armada niaga nasional.
(2) Pelaksanaan mobilisasi armada niaga nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Tanggung Jawab Pengangkut
Pasal 180
(1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan
keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.
(2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai
dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian
atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.
Pasal 181
(1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh
pengoperasian kapalnya.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
d. kerugian pihak ketiga.
(3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar
penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Batas tanggung jawab untuk pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengguna dan penyedia jasa
sesuai dengan perjanjian angkutan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Batas tanggung jawab keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan berdasarkan kesepakatan
bersama antara pengguna dan penyedia jasa sesuai dengan perjanjian angkutan atau
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Batas tanggung jawab atas kerugian pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di
perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.
Pasal 182
(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan
bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit,
dan orang lanjut usia.
(2) Fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penyediaan:
a. sarana khusus bagi penyandang cacat untuk naik ke atau turun dari kapal;
b. sarana khusus bagi penyandang cacat selama di kapal;
c. sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi
tidur; dan
d. fasilitas khusus bagi penumpang yang mengidap penyakit menular.
(3) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian prioritas:
a. untuk mendapatkan tiket angkutan; dan
b. pelayanan untuk naik ke dan turun dari kapal.
(4) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dipungut biaya tambahan.
Pasal 183
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar fasilitas dan kemudahan bagi penumpang
penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang
lanjut usia diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB X
PENGANGKUTAN BARANG KHUSUS
DAN BARANG BERBAHAYA
Pasal 184
(1) Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya harus dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus menggunakan kapal yang dirancang khusus dan memenuhi persyaratan:
a. penanganan bongkar muat, penumpukan, dan penyimpanan selama berada di kapal
serta pengemasan, penumpukan, dan penyimpanan di pelabuhan;
b. keselamatan sesuai dengan peraturan dan standar, baik nasional maupun
internasional, bagi kapal khusus pengangkut barang berbahaya; dan
c. pemberian tanda tertentu sesuai dengan barang berbahaya yang diangkut.
Pasal 185
(1) Barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) dapat berupa:
a. kayu gelondongan;
b. barang curah;
c. rel; dan
d. ternak.
(2) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) berbentuk:
a. bahan cair;
b. bahan padat; dan
c. bahan gas.
Pasal 186
Barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (2) diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. bahan atau barang peledak (explosive);
b. gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases,
liquified, or dissolved under pressure);
c. cairan mudah menyala atau terbakar (flammable liquids);
d. bahan atau barang padat mudah menyala atau terbakar (flammable solids);
e. bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances);
f. bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances);
g. bahan atau barang radioaktif (radioactive material);
h. bahan atau barang perusak (corrosive substances); dan
i. berbagai bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances).
Pasal 187
Penanganan pengangkutan, penumpukan, penyimpanan, dan bongkar muat barang khusus
dan barang berbahaya dari dan ke kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (2)
huruf a, dilakukan oleh tenaga kerja yang me miliki kompetensi dan dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan.
Pasal 188
Pemilik, operator, dan/atau agen perusahaan angkutan laut yang mengangkut barang
khusus dan barang berbahaya, wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Syahbandar
sebelum kapal pengangkut barang khusus dan/atau barang berbahaya tiba di pelabuhan.
Pasal 189
Badan Usaha Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan harus menyediakan tempat
penyimpanan atau penumpukan barang khusus dan barang berbahaya untuk menjamin
keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas barang di pelabuhan serta bertanggung jawab
terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan barang
berbahaya di pelabuhan.
Pasal 190
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkutan dan penanganan di pelabuhan
terhadap barang khusus dan barang berbahaya diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XI
PEMBERDAYAAN INDUSTRI ANGKUTAN PERAIRAN NASIONAL
Pasal 191
(1) Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional dilakukan dalam
rangka memberdayakan angkutan perairan nasional dan memperkuat industri
perkapalan nasional yang dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor
terkait.
(2) Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditujukan agar tersedia armada nasional yang memadai sebagai
infrastruktur dalam rangka pelaksanaan asas cabotage untuk angkutan di perairan dalam
negeri dan agar perusahaan angkutan laut nasional memperoleh pangsa muatan yang
wajar untuk angkutan di perairan luar negeri.
Pasal 192
(1) Pemberdayaan industri angkutan perairan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
191 ayat (1) wajib dilakukan oleh Pemerintah dengan:
a. memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan;
b. memfasilitasi kemitraan kontrak jangka panjang antara pemilik barang dan pemilik
kapal; dan
c. memberikan jaminan ketersediaan bahan bakar minyak untuk angkutan di perairan.
(2) Pemberian fasilitas pembiayaan dan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. mengembangkan lembaga keuangan non-bank khusus untuk pembiayaan pengadaan
armada niaga nasional;
b. memfasilitasi tersedianya pembiayaan bagi pengembangan armada niaga nasional,
baik yang berasal dari perbankan maupun lembaga keuangan non-bank, dengan
kondisi pinjaman yang menarik; dan
c. memberikan insentif fiskal bagi pengembangan dan pengadaan armada angkutan
perairan nasional.
(3) Fasilitas Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan Pemerintah
dengan:
a. mewajibkan pengangkutan barang atau muatan impor milik Pemerintah yang
pengadaannya dilakukan oleh importir menggunakan kapal berbendera Indonesia
yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan perairan nasional; dan
b. memfasilitasi agar syarat perdagangan muatan ekspor untuk jenis muatan atau barang
tertentu sehingga pengangkutannya dilakukan oleh perusahaan angkutan perairan
nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia.
(4) Pemberian jaminan ketersediaan bahan bakar minyak untuk angkutan perairan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyediakan bahan bakar
minyak sesuai dengan trayek dan jumlah hari layar kepada perusahaan angkutan
perairan nasional yang mengoperasikan kapal berbendera Indonesia dan melakukan
kegiatan angkutan laut dalam negeri.
Pasal 193
Perkuatan industri perkapalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1)
wajib dilakukan Pemerintah dengan:
a. menetapkan kawasan industri perkapalan terpadu;
b. mengembangkan pusat desain, penelitian, dan pengembangan industri kapal nasional;
c. mengembangkan standarisasi dan komponen kapal dengan menggunakan sebanyakbanyaknya
muatan local dan melakukan alih teknologi;
d. mengembangkan industri bahan baku dan komponen kapal;
e. memberikan insentif kepada perusahaan angkutan perairan nasional yang membangun
dan/atau mereparasi kapal di dalam negeri dan/atau yang melakukan pengadaan kapal
dari luar negeri;
f. membangun kapal pada industri galangan kapal nasional apabila biaya pengadaannya
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah;
g. sebanyak-banyaknya muatan lokal dan pelaksanaan alih teknologi; dan
h. memelihara dan mereparasi kapal pada industry perkapalan nasional yang biayanya
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah.
Pasal 194
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan pengadaan armada niaga nasional,
fasilitas Pemerintah dalam pemberdayaan industri pelayaran nasional dan perkuatan
industri perkapalan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XII
SISTEM INFORMASI ANGKUTAN DI PERAIRAN
Pasal 195
(1) Sistem informasi angkutan di perairan mencakup pengumpulan, pengelolaan,
penganalisaan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi angkutan
di perairan.
(2) Sistem informasi angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk
untuk:
a. mendukung operasional angkutan di perairan;
b. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan
c. mendukung perumusan kebijakan di bidang angkutan di perairan.
(3) Sistem informasi angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh:
a. Menteri, untuk sistem informasi angkutan di perairan pada tingkat nasional;
b. gubernur, untuk sistem informasi angkutan di perairan pada tingkat provinsi; atau
c. bupati/walikota, untuk sistem informasi angkutan di perairan pada tingkat
kabupaten/kota.
(4) Penyelenggaraan sistem informasi angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 196
Penyelenggaraan sistem informasi angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 195 dilakukan dengan membangun dan mengembangkan jaringan informasi secara
efektif, efisien, dan terpadu yang melibatkan pihak terkait dengan memanfaatkan
perkembangan teknologi informasi dankomunikasi.
Pasal 197
(1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
mengevaluasi laporan bulanan yang disampaikan oleh perusahaan angkutan di perairan
dan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan untuk dijadikan sebagai bahan
penyusunan system informasi angkutan di perairan.
(2) Hasil evaluasi yang dilakukan oleh gubernur dan/atau bupati/walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri.
Pasal 198
Menteri berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197, mengolah data dan
informasi untuk dijadikan sebagai bahan informasi angkutan di perairan kepada
masyarakat.
Pasal 199
(1) Sistem informasi angkutan di perairan paling sedikit memuat:
a. perusahaan angkutan di perairan;
b. kegiatan operasional angkutan di perairan;
c. armada dan kapasitas ruang kapal nasional;
d. jaringan trayek angkutan di perairan;
e. volume muatan berdasarkan jenis muatan dan pangsa muatan kapal nasional;
f. pergerakan operasional kapal berdasarkan jenis muatan;
g. usaha dan kegiatan jasa terkait dengan angkutan di perairan;
h. tarif angkutan di perairan;
i. sumber daya manusia di bidang angkutan di perairan;
j. peraturan perundang-undangan di bidang angkutan di perairan; dan
k. pelayanan publik di bidang angkutan di perairan.
(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam sistem informasi
manajemen angkutan di perairan termasuk Informasi Muatan dan Ruang Kapal.
Pasal 200
(1) Data dan informasi angkutan di perairan didokumentasikan dan dipublikasikan serta
dapat di akses dan digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Pengelolaan sistem informasi angkutan di perairan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.
Pasal 201
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan pengelolaan data dan
penyusunan sistem informasi angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 202
(1) Setiap pemegang izin yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) atau ayat (3), Pasal 14, Pasal 16 ayat (2), Pasal 26 ayat (4), Pasal 36 ayat (1),
Pasal 37 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat
(1), Pasal 61 ayat (3), Pasal 97 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 101 ayat (1) atau ayat (2),
Pasal 105 ayat (1), Pasal 109 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115, Pasal 119, Pasal
120 ayat (2), Pasal 124, Pasal 128, Pasal 132, Pasal 136, Pasal 137 ayat (2), Pasal 142,
Pasal 146, Pasal 150, Pasal 154, Pasal 158, Pasal 159 ayat (2), Pasal 164, Pasal 168,
Pasal 177 ayat (1), Pasal 182 ayat (1), atau Pasal 188 dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi adminitratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan izin; dan/atau
c. pencabutan izin.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 203
(1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202
ayat (2) dikenai sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut untuk jangka waktu masing-masing
30 (tiga puluh) hari kalender.
(2) Dalam hal pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka
waktu peringatan tertulis ke 3 (tiga), dikenai sanksi administratif berupa pembekuan
izin.
(3) Pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kalender.
(4) Izin dicabut apabila pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya setelah jangka
waktu pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir.
Pasal 204
(1) Pemegang izin yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat
(1) atau Pasal 109 ayat (1), selain dikenai sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 202 ayat (2) huruf c, dikenai sanksi denda administratif paling banyak
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan
negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 205
Perwakilan perusahaan angkutan laut asing yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan
Certificate of Owner’s Representative.
Pasal 206
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 207
Bagi perusahaan angkutan di perairan dan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan
yang telah memiliki izin sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) tahun, wajib menyesuaikan perizinannya berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 208
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan pelaksanaan yang mengatur
mengenai angkutan di perairan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 209
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3907), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 210
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 26
P E N J E L A S A N
A T A S
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2010
TENTANG
ANGKUTAN DI PERAIRAN
I. UMUM
Angkutan di perairan, sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, memiliki
peranan yang sangat penting dalam memperlancar roda perekonomian, memantapkan
perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa,
meningkatkan ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antarbangsa.
Angkutan di perairan memiliki fungsi yang strategis, yaitu menunjang kegiatan
perdagangan dan perekonomian (ship follows the trade) serta merangsang pertumbuhan
perekonomian dan wilayah (ship promotes the trade), sehingga angkutan di perairan
berfungsi sebagai infrastruktur yang srategis bagi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Penyelenggaraan fungsi strategis tersebut dapat mendukung perwujudan wawasan
nusantara, meningkatkan ekspor dan impor sehingga dapat meningkatkan penerimaan
devisa negara, dan membuka kesempatan kerja, sehingga angkutan di perairan dikuasai
oleh negara yang penyelenggaraannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan
pengawasan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penyelenggaraan angkutan di perairan
dilaksanakan dengan cara:
a. memberlakukan azas cabotage secara konsekuen dan konsisten agar perusahaan
angkutan perairan nasional dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri;
b. mengembangkan angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau
wilayah terpencil dengan pelayaran-perintis dan penugasan;
c. menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pemberdayaan dan kemandirian industri
angkutan perairan nasional;
d. mengembangkan industri jasa terkait untuk menunjang kelancaran kegiatan angkutan
di perairan; dan
e. mengembangkan sistem informasi angkutan di perairan secara terpadu yang
mengikutsertakan semua pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka dipandang perlu untuk menyusun
Peraturan Pemerintah tentang Angkutan di Perairan yang merupakan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mengatur mengenai
kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau, angkutan penyeberangan, angkutan
di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil, kegiatan jasa
terkait dengan angkutan di perairan, perizinan, penarifan, kewajiban dan tanggung
jawab pengangkut, pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya, pemberdayaan
industri angkutan perairan, system informasi angkutan di perairan, dan sanksi
administratif.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional dan
diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia untuk angkutan laut dalam
negeri dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan azas cabotage guna melindungi
kedaulatan negara (sovereignty) dan mendukung perwujudan wawasan nusantara serta
memberikan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut
nasional dalam memperoleh pangsa muatan.
Ayat (2)
Kegiatan angkutan laut dalam negeri termasuk kegiatan angkutan laut lepas pantai dan
kegiatan angkutan dari pelabuhan laut ke lokasi di perairan yang berfungsi sebagai
pelabuhan di wilayah perairan Indonesia atau sebaliknya.
Yang dimaksud dengan “kegiatan lainnya yang menggunakan kapal” antara lain
kegiatan penundaan kapal, pengerukan, untuk kegiatan salvage dan/atau pekerjaan
bawah air, dan pengangkutan penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas
bumi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur (liner) dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum dan usaha serta pelayanan kepada pengguna jasa dan penyedia jasa
angkutan laut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Terhadap perusahaan angkutan laut nasional yang mengoperasikan kapal atau
menempatkan kapalnya pada jaringan trayek tetap dan teratur unt uk melayani trayek
yang belum ditetapkan (yang bersifat keperintisan), diberikan proteksi berupa hak
eksklusif sementara (temporary exclusive right) dimana hanya kapal-kapal yang
dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional tersebut yang dapat melayani
trayek baru dimaksud untuk periode paling lama 3 (tiga) tahun atau telah tercapai
faktor muatan (load factor) sebesar rata-rata 65% (enam puluh lima per seratus) selama
6 (enam) bulan terakhir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keseimbangan permintaan dan tersedianya ruangan” adalah
terwujudnya pelayanan pada suatu trayek yang dapat diukur dengan tingkat faktor muat
(load factor) tertentu.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “omisi” adalah meninggalkan atau tidak menyinggahi
pelabuhan wajib singgah yang ditetapkan dalam jaringan trayek.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “deviasi” adalah penyimpangan trayek atau tidak menyinggahi
pelabuhan wajib singgah yang ditetapkan dalam jaringan trayek.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “substitusi” adalah penggantian kapal pada trayek tetap dan
teratur yang telah ditetapkan sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Pemberian insentif antara lain berupa pemberian prioritas sandar, penyediaan bunker
sesuai dengan trayek dan jumlah hari layar, dan keringanan tarif jasa kepelabuhanan.
Keringanan tarif jasa kepelabuhanan meliputi tarif jasa labuh, tariff jasa tambat, dan
tarif jasa pemanduan yang besarannya akan ditentukan oleh Badan Usaha Pelabuhan
atau Unit Penyelenggara Pelabuhan.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “untuk menunjang kegiatan tertentu” antara lain kegiatan
angkutan lepas pantai atau untuk menunjang suatu proyek tertentu lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Angkutan laut antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia
merupakan kegiatan angkutan laut dalam negeri yang hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan angkutan laut nasional.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “trayek angkutan laut lintas batas” antara lain:
1. Pelabuhan Batam-Pelabuhan Singapura;
2. Pelabuhan Nunukan-Pelabuhan Tawau, Malaysia;
3. Pelabuhan Belawan-Pelabuhan Penang, Malaysia;
4. Pelabuhan Sambas-Pelabuhan Kuching, Malaysia;
5. Pelabuhan Sungai Nyamuk-Pelabuhan Tawau, Malaysia;
6. Pelabuhan Dumai-Pelabuhan Malaka, Malaysia;
7. Pelabuhan Tahuna-Pelabuhan General Santos, Filipina;
8. Pelabuhan Jayapura-Pelabuhan Vanimo, Papua Nugini; dan
9. Pelabuhan Oecussi-Pelabuhan Dilli, Timor Leste.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kerja sama sub-regional” adalah forum kerja sama antara
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara di dalam sub-regional negara-negara
di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Kapal yang datang secara mendadak (emergency call) di suatu pelabuhan atau terminal
khusus terdekat, Nakhoda kapal dapat menunjuk agen umum dengan membuat surat
penunjukan (letter of appointment) kepada salah satu perusahaan angkutan laut
nasional atau perusahaan nasional keagenan kapal yang terdapat di pelabuhan atau
terminal khusus disertai uang muka untuk pembayaran biaya-biaya kapal selama
berada di pelabuhan (advanced disbursement).
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perusahaan nasional keagenan kapal” adalah badan usaha
yang khusus didirikan untuk kegiatan keagenan kapal.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara berkesinambungan” adalah bahwa kegiatan angkutan
laut ke atau dari pelabuhan Indonesia yang terbuka untuk perdagangan luar negeri yang
dilakukan oleh perusahaan angkutan laut asing secara terus menerus dan tidak terputus.
Penunjukan perwakilan dimaksudkan untuk mewakili kepentingan administrasi
perusahaan angkutan laut asing di Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewajiban melaporkan kepada Menteri mencakup rencana dan realisasi kegiatan dan
penggunaan kapal angkutan laut khusus.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tidak tersedianya kapal” adalah tidak tersedianya kapal
berbendera Indonesia yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Pelaksana kegiatan angkutan laut asing merupakan perusahaan angkutan laut asing
yang mengangkut muatan impor bahan baku dan/atau peralatan produksi untuk
menunjang usaha pokok tertentu dari pelaksana kegiatan angkutan laut khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Usaha pokok meliputi bidang:
a. pertanian dan perkebunan;
b. kehutanan;
c. peternakan dan perikanan;
d. perindustrian;
e. pertambangan dan energi; atau
f. pariwisata.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lintas penyeberangan antarprovinsi” yaitu yang
menghubungkan simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api
antarprovinsi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “lintas penyeberangan antarkabupaten/kota” yaitu yang
menghubungkan simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api
antarkabupaten atau kota dalam provinsi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota” yaitu yang
menghubungkan simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api dalam
kabupaten atau kota.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “fungsi sebaga i jembatan” adalah pergerakan lalu lintas dan
pemindahan penumpang dan kendaraan beserta muatannya dengan kapal
penyeberangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dengan jarak tertentu” adalah bahwa tidak semua daratan
yang dipisahkan oleh perairan dihubungkan oleh angkutan penyeberangan, tetapi
daratan yang dihubungkan merupakan pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan
jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan, dengan tetap memenuhi karakteristik
angkutan penyeberangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Persyaratan usaha angkutan penyeberangan antara lain memiliki kantor dan tenaga
manajemen angkutan penyeberangan.
Huruf b
Persyaratan pelayanan angkutan penyeberangan yang ditetapkan dalam standar
pelayanan minimal angkutan penyeberangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pelaksana kegiatan” adalah badan usaha yang memiliki izin
usaha di bidang angkutan laut, angkutan sungai dan danau, atau angkutan
penyeberangan.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kontrak jangka panjang” adalah paling sedikit untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar perusahaan
angkutan laut yang menyelenggarakan pelayaran-perintis dapat melakukan peremajaan
kapal.
Pasal 73
Yang dimaksud dengan “secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan
pembangunan wilayah” adalah bahwa penyusunan usulan trayek pelayaran-perintis
dikoordinasikan oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan instansi terkait serta
memperhatikan keterpaduan dengan program sektor lain seperti antara lain
perdagangan, perkebunan, transmigrasi, perikanan, pariwisata, pendidikan, dan
pertanian dalam rangka pengembangan potensi daerah.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kegiatan bongkar muat barang curah cair yang dibongkar atau dimuat melalui pipa
yang dilakukan dengan menggunakan pipa milik atau dikuasai oleh perusahaan
angkutan laut nasional.
Huruf c
Kegiatan bongkar muat barang curah kering yang di bongkar atau di muat melalui
conveyor atau sejenisnya yang dilakukan dengan menggunakan conveyor milik atau
dikuasai oleh perusahaan angkutan laut nasional.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “dokumen angkutan” antara lain bill of lading, airway bill,
dokumen kepabeanan, kekarantinaan, surat jalan, dan dokumen angkutan barang.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Layanan logistik berupa kegiatan perencanaan, penanganan, dan pengendalian terhadap
pengiriman dan penyimpanan barang, termasuk informasi, jasa pengurusan, dan
administrasi terkait yang dilaksanakan oleh penyelenggara kegiatan usaha jasa
pengurusan transportasi untuk pengiriman dan penerimaan barang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “stuffing peti kemas” adalah pekerjaan memuat barang dari
tempat yang ditentukan ke dalam peti kemas.
Yang dimaksud dengan “stripping peti kemas” adalah pekerjaan membongkar barang
dari dalam peti kemas sampai dengan menyusun di tempat yang ditentukan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Memiliki kapal berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran paling kecil GT 175
(seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage), dapat dipenuhi dengan 1 (satu) unit kapal
atau lebih.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Ayat (1)
Huruf a
Tarif angkutan penumpang kelas ekonomi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
merupakan tarif angkutan yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan
(ability to pay) masyarakat luas.
Huruf b
Tarif pelayanan kelas non-ekonomi adalah tarif pelayanan angkutan yang berorientasi
kepada kelangsungan dan pengembangan usaha angkutan dalam rangka meningkatkan
mutu pelayanan serta perluasan jaringan pelayanan angkutan laut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar perusahaan angkutan tidak membedakan perlakuan
terhadap pengguna jasa angkutan sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi
perjanjian pengangkutan yang disepakati.
Perjanjian pengangkutan harus dilengkapi dengan dokumen pengangkutan
sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian internasional maupun peraturan perundangundangan
nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 179
Ayat (1)
Yang dimaksud “dalam keadaan tertentu” adalah seperti penanggulangan bencana
alam, kecelakaan di laut, kerusuhan sosial yang berdampak nasional, dan negara dalam
keadaan bahaya setelah dinyatakan resmi oleh Pemerintah serta masa puncak angkutan
lebaran, natal, dan tahun baru.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku” antara
lain Undang-Undang tentang Mobilisasi dan Demobilisasi.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Tanggung jawab perusahaan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini adalah tanggung jawab terhadap kematian atau lukanya penumpang yang
diakibatkan oleh kecelakaan selama dalam pengangkutan dan terjadi di dalam kapal,
dan/ atau kecelakaan pada saat naik/turun kapal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pernyataan sebab keterlambatan penyerahan barang oleh pengangkut dapat dikukuhkan
oleh pejabat pemerintah yang berwenang di pelabuhan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Ayat (1)
Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional secara terpadu
dengan dukungan semua sektor terkait termasuk sektor perdagangan, keuangan,
perindustrian, energy dan sumber daya mineral, serta pendidikan dan pelatihan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pangsa muatan yang wajar” adalah bahwa wajar tidak selalu
dalam arti memperoleh bagian yang sama (equal share), tetapi memperoleh pangsa
sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, misalnya
dalam perjanjian bilateral, konvensi internasional yang diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia dan peraturan lainnya.
Khusus untuk barang milik Pemerintah perlu diupayakan agar pengangkutannya
dilaksanakan oleh perusahaan angkutan laut nasional.
Perusahaan angkutan laut nasional dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan
angkutan laut asing untuk menetapkan perjanjian perolehan pangsa muatan (fair share
agreement).
Pasal 192
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dilakukan oleh importir” adalah instansi Pemerintah/lembaga
pemerintah non kementerian, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha swasta yang melakukan kegiatan importasi
barang muatan impor milik pemerintah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “syarat perdagangan muatan ekspor untuk jenis muatan atau
barang tertentu sehingga pengangkutannya dilakukan oleh perusahaan angkutan
nasional” adalah syarat perdagangan (terms of trade) secara C&F (Cost and Freight)
atau CIF (Cost, Insurance, and Freight) untuk komoditas ekspor yang bersifat seller’s
market dimana pihak penjual/eksportir yang menentukan kapal pengangkutnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 193
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kawasan industri perkapalan terpadu” adalah pusat industri
yang meliputi antara lain fasilitas pembangunan, perawatan, perbaikan, dan
pemeliharaan yang terintegrasi dengan industri penunjangnya, seperti material kapal,
permesinan, dan perlengkapan kapal.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “bahan baku dan komponen kapal” antara lain material kapal,
suku cadang, dan perlengkapan kapal.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Cukup jelas.
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Cukup jelas.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Cukup jelas.
Pasal 210
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5108

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STCW ( Standards Of Training Certification & Watchkeeping )

Pengalaman Menjadi Taruna

ISM CODE